Kamis, 06 November 2008

November

Mading Bulan Oktober

KEDELE

Karya Keren Delapan E

Terimakasih Telah mengunjungi website kami

Redaksi

Pelindung :

Drs. H Tri Rahardjo, M.Pd

Pembimbing :

Ibu Darini

Peng-edit :

M. Ikhwan Anas

Saifuddin Aziz

Peng-update :

M. Ikhwan Anas

Saifuddin Aziz

Hasil Foto :

Saifuddin Aziz

Tata Letak :

M. Ikhwan Anas

Karya-karya :

Siswa-Siswi kelas 8E SMP N 1 Kalasan


Tokoh Kita

Walisongo

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim , keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.[1] Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya. Sunan Ampel adalah tokoh utama penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya untuk Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya.

Sunan Bonang dan Sunan Drajat

Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Mereka adalah putra-putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Drajat merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum dapat diketahui dengan jelas silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung yang menikah dengan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus keturunan ke-14 dari Husain bin Ali, diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Di titik ini (Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan keraton Pajajaran, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).

Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]

Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).

Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.

Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]

Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.

Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.

Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.

Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.

Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]

Bukti dan analisa sejarah bahwa Walisongo keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:

  • L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
  • van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
  • Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
  • Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
  • Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Kontroversi

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]

Sumber tertulis tentang Walisongo

  1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
  2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
  3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik

Karya (Puisi)
Karya (
Art Gallery 8E)

Pengetahuan

Filateli, Hobi Sekaligus Investasi

Menyalurkan hobi sekaligus berinvestasi tentunya dua pilihan yang sangat menarik. Komunitas Persatuan Filatelis Indonesia bisa menjadi wadah untuk mendapatkan keduanya. Hal ini tak lepas dari prangko yang ternyata memiliki nilai ekonomis hingga harganya bisa mencapai miliaran rupiah.

Bergabung dalam komunitas filatelis (orang yang mengumpulkan prangko dan benda-benda pos lain) ternyata bukan sekadar mengumpulkan macam-macam prangko dari berbagai negara. Namun, juga bisa sekalian investasi sekaligus berbisnis. Kok bisa? Memang, karena prangko akan memiliki nilai ekonomis bila hanya dicetak dalam jumlah terbatas oleh setiap negara.

Sekretaris Jenderal Persatuan Filatelis Indonesia (PFI) Rijanto mengatakan, memang ada aturan yang menyatakan prangko tidak boleh dicetak ulang oleh suatu negara. "Ini yang menyebabkan prangko memiliki nilai ekonomis. Hal tersebut yang harus diketahui oleh seorang filatelis sehingga bisa mendapatkan manfaat dari koleksinya," katanya.

Dia mencontohkan bagaimana prangko pertama yang diterbitkan di Indonesia pada 1 April 1864 dihargai hingga miliar-ran rupiah karena barangnya pasti sangat langka. Bahkan, harga tersebut jauh lebih tinggi dari prangko pertama di dunia yang dikeluarkan di Inggris pada 6 Mei 1840.

"Orang yang tidak tahu mengenai prangko tentu akan memberikan nilai harga yang lebih mahal kepada koleksi yang tertua, apalagi prangko pertama yang dikenal dengan sebutan penny black sangat terkenal di kalangan filatelis," kata Rijanto. Padahal, lanjutnya, prangko pertama di Indonesia kenyataannya justru jauh lebih mahal karena jumlah yang diterbitkan sangat sedikit dan jarang ditemukan pada saat ini.

Pengurus FPI, Luthfi, menjelaskan bahwa dirinya memilih menjadi filatelis bukan hanya hobi semata, melainkan juga dilatarbelakangi oleh unsur investasi. "Saya lihat prangko bisa jadi investasi jangka panjang dengan modal relatif kecil, tetapi harganya bisa beratus-ratus kali lipat di kemudian hari jika prangko yang kita miliki jumlahnya sangat terbatas," ujar Luthfi yang kini hanya terfokus pada prangko semata.

Akan tetapi, Rijanto memastikan bahwa anggota komunitas filatelis yang jumlahnya mencapai 150.000 orang tak hanya mengerti masalah keekonomian dari koleksinya, tetapi juga memanfaatkan pengetahuannya mengenai nilai prangko untuk menghargai koleksi pribadi.

Rijanto menegaskan, hal terpenting bagi anggota komunitas filateli adalah menambah pengetahuan umum yang berkaitan dengan koleksi prangko. Misalnya prangko bertema singa laut, maka seorang filatelis harus mengetahui seluk-beluk mengenai binatang tersebut untuk dapat menjelaskan koleksinya secara detail.

Seorang filatelis juga harus mengetahui banyak hal tentang negara yang menerbitkan prangko tersebut, bahkan latar belakang dari penerbitannya, karena semua prangko memiliki sejumlah alasan ketika akan diterbitkan oleh kantor pos di negara tertentu.

"Mungkin banyak orang yang pernah mendengar nama negara Malta, tetapi tidak banyak mengetahui informasi tentang negara itu. Namun, bagi seorang filatelis yang memiliki koleksi prangko dari negara tersebut, dipastikan mengenal betul negara tersebut," ujar Rijanto.

Perkumpulan Filatelis Indonesia

Selain mengasyikkan, hobi filateli juga bermanfaat dan berdampak positif. Hobi ini bisa memperluas pengetahuan umum sang pengumpul. Seorang filatelis secara tak langsung akan belajar ilmu bumi, sejarah, biologi, dan pengetahuan dari konten prangko.

Semakin banyak informasi mengenai koleksi prangko yang dimiliki oleh seorang filatelis, ia semakin dapat menikmati koleksinya. Hal ini merupakan dampak psikologis dari sebuah koleksi prangko yang dapat membuat orang menikmati barang tersebut.

Makanya, komunitas ini secara rutin melakukan pertemuan dua kali sebulan yang diisi acara tukar-menukar informasi mengenai koleksi prangko dan pelaksanaan lelang prangko. Selain itu, ada pameran, seminar, pelatihan dan pertemuan tingkat daerah, nasional, hingga internasional.

Diawali prangko

Penerbitan prangko pertama di Inggris yang kemudian diikuti oleh semua negara di dunia ternyata menimbulkan kegemaran atau hobi baru untuk mengumpulkan prangko. Selanjutnya, terbentuklah perkumpulan kolektor prangko atau filateli di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekretariat di Jalan Pos, Nomor 2, Jakarta Pusat.

Prangko pertama di Indonesia tercatat terbit pada 1 April 1864 ketika Indonesia masih berada di bawah jajahan pemerintah Hindia Belanda. Makanya, komunitas filatelis di Indonesia mulai tumbuh pada zaman penjajahan, yakni tanggal 29 Maret 1922.

Pada waktu itu sekelompok kolektor prangko mendirikan klub filateli di Jakarta (Batavia, saat itu) yang mereka namakan Postzegelverzamelaars Club Batavia. Perkumpulan ini mendapat pengakuan dari penguasa setempat pada tanggal 29 Maret 1922.

Setelah itu, beberapa kelompok filatelis terbentuk pada beberapa daerah di Indonesia. Kelompok lokal itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah menjadi gerakan terorganisasi secara nasional, Nederlandsch Indische Vereniging van Postzegel Verzamelaars, pada tanggal 15 Agustus 1940 sebagai lanjutan dari Postzegelverzamelaar Club Batavia.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, nama perkumpulan diubah menjadi Algemene Vereniging Voor Philatelisten In Indonesia, yang merupakan pendahulu Perkumpulan Umum Philateli Indonesia yang dibentuk tahun 1953. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) dan akhirnya pada tahun 1985 menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia.

Untuk dapat mengikuti perkembangan filateli di dunia internasional, pada tahun 1969 Indonesia menjadi anggota Federation International de Philatelie (FIP) yang berkedudukan di Swiss. Pada tahun 1974 Indonesia dan beberapa anggota FIP lainnya di wilayah Asia mendirikan sebuah federasi filateli regional yang berkedudukan di Singapura dengan nama Federation of Inter-Asian Philately (FIAP), yang anggotanya mencakup organisasi perkumpulan filateli di wilayah Asia-Pasifik.

Sejak lahirnya, PFI bukan merupakan organisasi politik, melainkan suatu organisasi hobi yang bersifat nasional, tidak mencari keuntungan dan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia. Filateli sebagai suatu kegiatan di luar sekolah mengandung aspek pendidikan yang berdampak positif bagi pembinaan dan pengembangan watak.

Buku Kita

EDENSOR

Perjalanan Anak Belitong Di Negeri Orang


MENJALANI hidup di luar negeri tanpa ada siapapun saudara? Bagaimana perasaannya?

Bingung itu pasti. Tapi yang terpenting adalah pengalaman rata dan terjal yang dapat diperoleh di negeri orang tersebut. Apalagi sembari di luar negeri kita bisa keliling dunia tanpa ongkos sama sekali.

Hanya berbekal niat saja, Ikal dan Arai dapat keliling Eropa bahkan sampai ke Afrika.

Perjalanan ke luar negeri itu bukan semata-mata hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk menuntut ilmu.

Akhir perjalanan di luar negeri ini adalah ketika Ikal berhasil menemukan tempat yang selama ini hanya ada di bayangannya yaitu:

EDENSOR!!!

Cuplikan cerita hanya bab 1 dan 3:

Mozaik 1

Laki-Laki Zenit

dan Nadir

Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen

relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman

yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahay;

i yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya

berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran

dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen

itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama

dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong

—ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama

dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat

apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada

seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.

Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak

kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek

mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam

itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki

yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.

Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa

masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar

pada khalayak yang silang sengketa.

"Tahu apa kalian soal hukum agama!

"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus

di neraka berdaki-daki!"

***

Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh.

Tapi di sekolah lama Molten Bass Technisce School di Tanjong

Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang

bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima

pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi

teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram.

Weh seorang pemuda yang gagah. la bergaya, berdiri condong

menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti.

Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya.

Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat

siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama,

lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki

zenit dan nadir...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan

berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi.

Mengapa Weh kesakitan?

Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat

di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena

burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelakilakiannya,

bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor.

Jampi dan ramuan tak mempan. la atau sanak leluhurnya

pernah melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung

tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda

penuh harapan itu tumbang. la keluar dari Technisce

School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya.

Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.

***

Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu.

Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun

ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara

aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya.

Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar

dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu

manusia.

"Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.

Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa

kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi.

Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang,

aku bergeming.

"Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"

Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya

ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan.

Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.

Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku

kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia

kembali menibar pokok terunjam. la hilir mudik di depanku

lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya

sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku

meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah

lekak-lekuknya.

Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi

Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening

dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya

timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul

di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku

perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya

yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau,

aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan

tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer

ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk

Weh.

"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM Malaysia.

Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang."

Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan

tak menyentuhnya selama seminggu.

Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan

mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di

Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong

Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu

Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelanpelan.

Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku.

Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Prog-

rama RPM Malaysia mengalunkan "Kasih Tak Sampai",

kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuatkuat

bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.

***

Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk

ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.

"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan

menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami

teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan

tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani

ke Pulau Lanun. la tak peduli lagi dengan nyawanya."

Ayah memilih kata dengan teliti. la tak ingin aku terinspirasi

keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras

Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah,

semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.

Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara.

Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan

melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu,

Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak

dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-

limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa

denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku

yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah

akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas

dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah

tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.

***

Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum

melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh

isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan Kalimantan

di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh

menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding

melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi

dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku

meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung

kehebatan Weh.

Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu

ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar,

memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu

Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano

yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata

jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka

adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka

mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar

mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang

lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling

yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam

punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang

berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu.

Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar

ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru.

Weh terjun menyelamatkanku. la meraih tali tempuling,

aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini

adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diri-

ku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh

mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan

tangkas, meski tertahan tekanan air. la menampas tali tempuling.

Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas.

"Keras kepala!

"Keras kepala, seperti ibumu!

"Kau bisa tewas tak berguna!"

Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat

wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.

Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan

kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana

samudra. Ada gunanya tak kulepaskan hiu gergaji itu. Kami

beranjak pulang.

Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.

"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.

Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan

penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan

membawa perahu kecil ini pulang?

"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki,

Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."

Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat

keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat

berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.

Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh,

nun di sana, empat kerlip bintang trapesium perlahan

menjelma di horizon.

"Rasi belantik....

"Itulah timur...."

Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang

barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang

malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan

seakan meniti langit karena bumi berputar. Columbus telah

lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh

bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang

tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur

laut. Weh berkisah.

"Tahukah engkau, Ikal...?

"Langit adalah kitab yang terbentang...."

Perahu menyusur gugusan pulau.

"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul,

langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi...."

Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian

delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak

yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk

anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.

"Semburat awan-awan tipis itu ...."

Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-

apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung

gemawan berkilau membias cahaya rembulan.

"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini

menyapu Selat Gaspar...."

Dramatis.

"Awan-awan sisik di tenggara sana mengabarkan sebentar

lagi telur-telur ikan belanak akan menetas ...."

Aku terpesona.

"Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?"

Weh bersidekap, kedinginan.

"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!

"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini."

Weh bangkit.

"Tampakkah olehmu lingkaran itu?"

Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran

itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran

benda langit. la menarik sebatang kayu bakar dan melukis

langit. Bara kayu bakar melingkar

merah. Aku mengikuti lukisannya.

Perlahan, seperti menyimak

gambar tiga dimensi,

sebentuk lingkaran merekah.

la membagi lingkaran

menjadi dua belas iris. Ajaib!

Di setiap puncak jejarinya

tampak bintang yang lebih gemerlap

dari sekitarnya. Dipatrinya

simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-

ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.

Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan,

perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas,

bintang kastor, musim menyemai benih ...."

Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata

Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk

membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu.

Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!

Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku.

"Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api

Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."

Napasku tercekat.

"Engkau, laki-laki zenit dan

nadir...."

Aku terkesiap. Malam

itu, ingin kujadikan malam

puisi-puisi Lucretius

tentang jagat angkasa, galaksi

andromeda, dan nebula-

nebula triangulum.

Tak 'kan kukejar Weh dengan

pertanyaan-pertanyaan praktis

untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap.

Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman

hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca

langit yang adiluhung.

Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari,

tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut.

Apakah pulau itu tujuanku?

Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu,

predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun

di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di

bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku,

Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral

Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah

guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan

perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan

membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama

kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.

***

Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua

minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi

kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana

kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya

melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami

akan memburu gurita.

Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah,

aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu

Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya

terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung.

Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat.

Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju

perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayunayun.

Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan

menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang

tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya,

benteng terakhir itu adalah aku.

Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami

yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya

yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya

masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa

radio RPM Malaysia. Aku berteriak-teriak, tapi suaraku

surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak,

lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.

Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti

hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri

itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di sana, dekat rawa-rawa

nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak.

Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang

didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang

hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur

cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat

di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku

lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk

sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu

menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.

Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang

yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus

kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah

asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan

yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu

yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius

itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama

itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari

orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang

pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.

Mozaik 2

Persyarekatan

Bangsa-Bangsa

Einstein kedua dalam hidupku—yang mengenalkanku

pada diriku sendiri—adalah tokoh legendaris ini: Mak

Birah, dukun beranak kampung kami.

"Waktu kau lahir, Ikal....

"Nyalo."

Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu

jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya

angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.

"Tengah malam pula...."

Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas,

yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan.

Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki:

ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau.

Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara

alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu,

yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak

pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi

jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam

dengan menerapkan manajemen mandor kawat.

Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan

pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan

Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak

Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia

penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan

Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk

meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan

keempat. la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak

dayang!

"Persalinan kelima ...," cerita Mak Birah.

"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."

Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya.

Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-

tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama

itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu.

Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini

setiap aku mengantar tembakau untuknya.

"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya....

"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul

setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu

sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."

Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.

"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua

perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat

jam weker.

"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"

Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah

tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya

ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.

"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"

Cerita makin seru.

"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah!

Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan!

Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu

tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan

sudah gawat, kami cemas bukan buatan!

"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus

jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!'

"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya

angin saja gertakku!

"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti

kawat! Aku marah besar!"

Aku tegang menyimak.

"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan

bayimu! Sekarang!'

"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!

"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah

kesabaranku!

"Apa kau mau mati, Nyi!?'

"Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali."

Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh

cerita ini.

"Sambil terengah ibumu membentakku: 'Kautengok

baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya

lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir

tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di

radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya

Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku

mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"

Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir,

sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di

alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya

melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah

bersorak.

"Nomor lima! Bujang!"

Mozaik 3

Juru Pendamai

Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya

Aqil Barraq Badruddin.

"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan,

bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.

Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain

adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din.

Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu

kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan

melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.

Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah

arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman

seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan

agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya,

asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres,

pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba

itu dianut taat oleh ayahku.

Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas

deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku

belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku—si no

mor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok

bersalin—menyembunyikan naskah khatib sehingga ia

gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan

Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku

seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas

umat.

Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan

beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari

karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai

mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri,

membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku

bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan

ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit

yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum

laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir.

"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim,

penggawa yang kondang garangnya.

Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku.

"Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru

pendamai itu!? Bikin malu!"

Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri.

Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan

yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia

semprotkan memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni

watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal

dari setiap inci dirinya.

"Terserah Yah Ni...."

Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam

keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat

duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke

tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas

jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN

Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian

hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak

berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya

aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.

Ingin tau lanjutan ceritanya? Tentunya ga seru dong kalo aku beberkan disini. Kamu bisa beli atau pinjem lah. Critanya ga kalah seru sama Sang Pemimpi pokoknya kwalitas tinggi deh. Nah klo mau beli. Kamu yang tinggal di di deket-deket Jl. Laksda Adisucipto, bisa beli di Social Agency, dapat diskon + Sampul lagi... Harga Rp 44.500,- (Ada sisipan pembatas juga lho!)

By Muhammad Ikhwan Anas

23/8E

Email: anaz_filatelis@yahoo.com

Tidak ada komentar: