KEDELE |
Karya Keren Delapan E |
Terimakasih Telah mengunjungi website kami |
Redaksi |
Pelindung : Drs. H Tri Rahardjo, M.Pd Pembimbing : Ibu Darini Peng-edit : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Peng-update : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Hasil Foto : Saifuddin Aziz Tata Letak : M. Ikhwan Anas Karya-karya : Siswa-Siswi kelas 8E SMP N 1 Kalasan |
Tokoh Kita
Walisongo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
- Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
- Sunan Ampel atau Raden Rahmat
- Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
- Sunan Drajat atau Raden Qasim
- Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
- Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
- Sunan Kalijaga atau Raden Said
- Sunan Muria atau Raden Umar Said
- Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim , keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.[1] Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya. Sunan Ampel adalah tokoh utama penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya untuk Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya.
Sunan Bonang dan Sunan Drajat
Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Mereka adalah putra-putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Drajat merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum dapat diketahui dengan jelas silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung yang menikah dengan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus keturunan ke-14 dari Husain bin Ali, diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Di titik ini (Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan keraton Pajajaran, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Bukti dan analisa sejarah bahwa Walisongo keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
- L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
- ”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
- ”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
- Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
- Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
- Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
- Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Kontroversi
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Sumber tertulis tentang Walisongo
- Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
- Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
- Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik
Karya (Puisi)
Karya (Art Gallery 8E)
Pengetahuan
Filateli, Hobi Sekaligus Investasi
Menyalurkan hobi sekaligus berinvestasi tentunya dua pilihan yang sangat menarik. Komunitas Persatuan Filatelis Indonesia bisa menjadi wadah untuk mendapatkan keduanya. Hal ini tak lepas dari prangko yang ternyata memiliki nilai ekonomis hingga harganya bisa mencapai miliaran rupiah.
Bergabung dalam komunitas filatelis (orang yang mengumpulkan prangko dan benda-benda pos lain) ternyata bukan sekadar mengumpulkan macam-macam prangko dari berbagai negara. Namun, juga bisa sekalian investasi sekaligus berbisnis. Kok bisa? Memang, karena prangko akan memiliki nilai ekonomis bila hanya dicetak dalam jumlah terbatas oleh setiap negara.
Sekretaris Jenderal Persatuan Filatelis Indonesia (PFI) Rijanto mengatakan, memang ada aturan yang menyatakan prangko tidak boleh dicetak ulang oleh suatu negara. "Ini yang menyebabkan prangko memiliki nilai ekonomis. Hal tersebut yang harus diketahui oleh seorang filatelis sehingga bisa mendapatkan manfaat dari koleksinya," katanya.
Dia mencontohkan bagaimana prangko pertama yang diterbitkan di Indonesia pada 1 April 1864 dihargai hingga miliar-ran rupiah karena barangnya pasti sangat langka. Bahkan, harga tersebut jauh lebih tinggi dari prangko pertama di dunia yang dikeluarkan di Inggris pada 6 Mei 1840.
"Orang yang tidak tahu mengenai prangko tentu akan memberikan nilai harga yang lebih mahal kepada koleksi yang tertua, apalagi prangko pertama yang dikenal dengan sebutan penny black sangat terkenal di kalangan filatelis," kata Rijanto. Padahal, lanjutnya, prangko pertama di Indonesia kenyataannya justru jauh lebih mahal karena jumlah yang diterbitkan sangat sedikit dan jarang ditemukan pada saat ini.
Pengurus FPI, Luthfi, menjelaskan bahwa dirinya memilih menjadi filatelis bukan hanya hobi semata, melainkan juga dilatarbelakangi oleh unsur investasi. "Saya lihat prangko bisa jadi investasi jangka panjang dengan modal relatif kecil, tetapi harganya bisa beratus-ratus kali lipat di kemudian hari jika prangko yang kita miliki jumlahnya sangat terbatas," ujar Luthfi yang kini hanya terfokus pada prangko semata.
Akan tetapi, Rijanto memastikan bahwa anggota komunitas filatelis yang jumlahnya mencapai 150.000 orang tak hanya mengerti masalah keekonomian dari koleksinya, tetapi juga memanfaatkan pengetahuannya mengenai nilai prangko untuk menghargai koleksi pribadi.
Rijanto menegaskan, hal terpenting bagi anggota komunitas filateli adalah menambah pengetahuan umum yang berkaitan dengan koleksi prangko. Misalnya prangko bertema singa laut, maka seorang filatelis harus mengetahui seluk-beluk mengenai binatang tersebut untuk dapat menjelaskan koleksinya secara detail.
Seorang filatelis juga harus mengetahui banyak hal tentang negara yang menerbitkan prangko tersebut, bahkan latar belakang dari penerbitannya, karena semua prangko memiliki sejumlah alasan ketika akan diterbitkan oleh kantor pos di negara tertentu.
"Mungkin banyak orang yang pernah mendengar nama negara Malta, tetapi tidak banyak mengetahui informasi tentang negara itu. Namun, bagi seorang filatelis yang memiliki koleksi prangko dari negara tersebut, dipastikan mengenal betul negara tersebut," ujar Rijanto.
Perkumpulan Filatelis Indonesia
Selain mengasyikkan, hobi filateli juga bermanfaat dan berdampak positif. Hobi ini bisa memperluas pengetahuan umum sang pengumpul. Seorang filatelis secara tak langsung akan belajar ilmu bumi, sejarah, biologi, dan pengetahuan dari konten prangko.
Semakin banyak informasi mengenai koleksi prangko yang dimiliki oleh seorang filatelis, ia semakin dapat menikmati koleksinya. Hal ini merupakan dampak psikologis dari sebuah koleksi prangko yang dapat membuat orang menikmati barang tersebut.
Makanya, komunitas ini secara rutin melakukan pertemuan dua kali sebulan yang diisi acara tukar-menukar informasi mengenai koleksi prangko dan pelaksanaan lelang prangko. Selain itu, ada pameran, seminar, pelatihan dan pertemuan tingkat daerah, nasional, hingga internasional.
Diawali prangko
Penerbitan prangko pertama di Inggris yang kemudian diikuti oleh semua negara di dunia ternyata menimbulkan kegemaran atau hobi baru untuk mengumpulkan prangko. Selanjutnya, terbentuklah perkumpulan kolektor prangko atau filateli di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekretariat di Jalan Pos, Nomor 2, Jakarta Pusat.
Prangko pertama di Indonesia tercatat terbit pada 1 April 1864 ketika Indonesia masih berada di bawah jajahan pemerintah Hindia Belanda. Makanya, komunitas filatelis di Indonesia mulai tumbuh pada zaman penjajahan, yakni tanggal 29 Maret 1922.
Pada waktu itu sekelompok kolektor prangko mendirikan klub filateli di Jakarta (Batavia, saat itu) yang mereka namakan Postzegelverzamelaars Club Batavia. Perkumpulan ini mendapat pengakuan dari penguasa setempat pada tanggal 29 Maret 1922.
Setelah itu, beberapa kelompok filatelis terbentuk pada beberapa daerah di Indonesia. Kelompok lokal itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah menjadi gerakan terorganisasi secara nasional, Nederlandsch Indische Vereniging van Postzegel Verzamelaars, pada tanggal 15 Agustus 1940 sebagai lanjutan dari Postzegelverzamelaar Club Batavia.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, nama perkumpulan diubah menjadi Algemene Vereniging Voor Philatelisten In Indonesia, yang merupakan pendahulu Perkumpulan Umum Philateli Indonesia yang dibentuk tahun 1953. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) dan akhirnya pada tahun 1985 menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia.
Untuk dapat mengikuti perkembangan filateli di dunia internasional, pada tahun 1969 Indonesia menjadi anggota Federation International de Philatelie (FIP) yang berkedudukan di Swiss. Pada tahun 1974 Indonesia dan beberapa anggota FIP lainnya di wilayah Asia mendirikan sebuah federasi filateli regional yang berkedudukan di Singapura dengan nama Federation of Inter-Asian Philately (FIAP), yang anggotanya mencakup organisasi perkumpulan filateli di wilayah Asia-Pasifik.
Sejak lahirnya, PFI bukan merupakan organisasi politik, melainkan suatu organisasi hobi yang bersifat nasional, tidak mencari keuntungan dan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia. Filateli sebagai suatu kegiatan di luar sekolah mengandung aspek pendidikan yang berdampak positif bagi pembinaan dan pengembangan watak.
Buku KitaEDENSOR
Perjalanan Anak Belitong Di Negeri Orang
MENJALANI hidup di luar negeri tanpa ada siapapun saudara? Bagaimana perasaannya?
Bingung itu pasti. Tapi yang terpenting adalah pengalaman rata dan terjal yang dapat diperoleh di negeri orang tersebut. Apalagi sembari di luar negeri kita bisa keliling dunia tanpa ongkos sama sekali.
Hanya berbekal niat saja, Ikal dan Arai dapat keliling Eropa bahkan sampai ke Afrika.
Perjalanan ke luar negeri itu bukan semata-mata hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk menuntut ilmu.
Akhir perjalanan di luar negeri ini adalah ketika Ikal berhasil menemukan tempat yang selama ini hanya ada di bayangannya yaitu:
EDENSOR!!!
Cuplikan cerita hanya bab 1 dan 3:
Mozaik 1
Laki-Laki Zenit
dan Nadir
Jika hidup ini seumpama rel kereta api dalam eksperimen
relativitas Einstein, maka pengalaman demi pengalaman
yang menggempur kita dari waktu ke waktu adalah cahay;
i yang melesat-lesat di dalam gerbong di atas rel itu. Relativitasnya
berupa seberapa banyak kita dapat mengambil pelajaran
dari pengalaman yang melesat-lesat itu. Analogi eksperimen
itu tak lain, karena kecepatan cahaya bersifat sama
dan absolut, dan waktu relatif tergantung kecepatan gerbong
—ini pendapat Einstein—maka pengalaman yang sama
dapat menimpa siapa saja, namun sejauh mana, dan secepat
apa pengalaman yang sama tadi memberi pelajaran pada
seseorang, hasilnya akan berbeda, relatif satu sama lain.
Banyak orang yang panjang pengalamannya tapi tak
kunjung belajar, namun tak jarang pengalaman yang pendek
mencerahkan sepanjang hidup. Pengalaman semacam
itu bak mutiara dan mutiara dalam hidupku adalah lelaki
yang mengutuki hidupnya sendiri, namanya Weh.
Kini lihatlah perbuatan Weh. Taikong Hamim, penggawa
masjid, sampai mengacung-acungkan tombak mimbar
pada khalayak yang silang sengketa.
"Tahu apa kalian soal hukum agama!
"Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus
di neraka berdaki-daki!"
***
Langit, kemudi, dan layar, itulah samar ingatku tentang Weh.
Tapi di sekolah lama Molten Bass Technisce School di Tanjong
Pandan, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang
bahwa dia bukan sembarang, karena Belanda hanya menerima
pribumi yang paling cerdas di sekolah calon petinggi
teknik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram.
Weh seorang pemuda yang gagah. la bergaya, berdiri condong
menumpukan tubuh kekarnya di atas pemukul kasti.
Namun, sesuatu yang menyayat tersembunyi dalam matanya.
Seringainya hambar, jauh, dan kesakitan. Weh mengawasi lekat
siapa pun yang mendekati fotonya. Aku menatapnya, lama,
lalu bisikan garau mendesis dari foto itu, "Engkau, laki-laki
zenit dan nadir...." Bulu tengkukku meruap, seseorang seakan
berdiri di belakangku, aku berbalik, sepi.
Mengapa Weh kesakitan?
Semula ia baik-baik saja, bahkan tempatnya terhormat
di kelas. Sampai penyakit nista merampok hidupnya. Ia kena
burut. Burut terkutuk yang meniup skrotum dan kelakilakiannya,
bengkak seperti balon sampai jalannya pengkor.
Jampi dan ramuan tak mempan. la atau sanak leluhurnya
pernah melangkahi Qur'an, kualat, tuduh orang kampung
tanpa perasaan. Hidup Weh disita malu. Semangat pemuda
penuh harapan itu tumbang. la keluar dari Technisce
School, mengasingkan diri, meninggalkan tunangannya.
Weh menjadi nelayan, tinggal di perahu.
***
Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu.
Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku. Puluhan tahun
ia telah hidup di perahu. Perkenalan kami terjadi gara-gara
aku disuruh ayahku mengantar beras dan knur untuknya.
Semula aku ragu mendekati perahunya. Laki-laki itu keluar
dari lubang palka, tubuhnya aneh. Ia tampak miris bertemu
manusia.
"Lemparkan!" hardiknya melihat benda-benda di tanganku.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa
kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya basa-basi.
Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang,
aku bergeming.
"Keras kepala! Mirip sekali ibumu!"
Ia menibar pokok terunjam, merapatkan perahunya
ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di buritan.
Sampai aku pulang kami tak berkata-kata.
Esoknya, tak tahu apa yang menggerakkanku, aku
kembali ke pangkalan. Weh juga pasti tak tahu mengapa ia
kembali menibar pokok terunjam. la hilir mudik di depanku
lalu menghunus sebilah terampang dari punggungnya
sambil menunjuk gerinda di dekatku. Tanpa bicara, aku
meraih terampang itu, memutar gerinda, dan mengasah
lekak-lekuknya.
Aku masih tak tahu mengapa setiap hari aku mengunjungi
Weh. Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening
dan kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya
timpang karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengumpul
di selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku
perih, dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya
yang dikhianati nasib pada senyap sungai payau,
aku gelisah sepanjang malam. Akhir bulan aku memecahkan
tabungan pramukaku lalu bersepeda puluhan kilometer
ke Manggar demi satu tujuan: membeli radio saku untuk
Weh.
"Irama Semenanjung Pak Cik, programa RPM
Banyak pantun dan lagu cinta, pasti Pak Cik senang."
Weh menerima radio itu, meletakkannya di atas rak, dan
tak menyentuhnya selama seminggu.
Dua minggu berikutnya aku harus ke Tanjong Pandan
mengikuti ujian sekolah. Tak tahu mengapa, setiap hari di
Tanjong Pandan, aku merindukan Weh. Kembali dari Tanjong
Pandan aku bergegas ke pangkalan. Dekat perahu
Weh kudengar sayup lagu sendu. Aku menyelinap pelanpelan.
Weh tidur meringkuk sambil memeluk radio pemberianku.
Tak pernah kulihat wajahnya sedamai itu. Prog-
rama RPM
kemerosok, timbul tenggelam. Aku menggenggam kuatkuat
bungkusan beras di tanganku, hatiku mengembang.
***
Berminggu-minggu berikutnya aku bersusah payah membujuk
ayahku agar diizinkan berlayar bersama Weh.
"Tak ada orang yang bernyali ke Mentawai hanya dengan
menaikkan layar. Kautahu, Bujangku? Weh menyelami
teripang, empat puluh meter di dasar Lingga yang pekat, dengan
tabung udara dadanya saja. Hanya dia yang masih berani
ke Pulau Lanun. la tak peduli lagi dengan nyawanya."
Ayah memilih kata dengan teliti. la tak ingin aku terinspirasi
keberanian Weh yang gelap. Namun, semakin keras
Ayah melarangku, semakin kuat inginku. Ketika Ayah menyerah,
semalam suntuk tak dapat kupejamkan mataku.
Akhir pekan, pagi buta, kami bertolak ke tenggara.
Weh mengambil jalur pintas penuh bahaya. Perahu ia layarkan
melintasi lor-lor ganas Karimata. Di selat sempit itu,
Laut Jawa dari utara dan Laut Cina Selatan beradu, terjebak
dalam pusaran yang dahsyat. Aku melihat buih berlimpah-
limpah. Perahu bergoyang halus tapi cepat serupa
denting senar sitar, setiap benda gemeletar, paku-paku
yang mengikat papan berderak bak gemelutuk gigi, seolah
akan bingkas meledak. Perahu meluncur pelan dan waswas
dalam intaian maut, laksana melintas titian serambut terbelah
tujuh di atas neraka yang berkobar-kobar.
***
Terlepas dari daya isap pusaran air, Weh tersenyum
melihatku yang pucat karena telah memuntahkan seluruh
isi lambungku. Perahu terlontar memasuki perairan
di wilayah Tanjung Sambar. Tengah malam, Weh
menyalakan obor, merapal sebaris mantra, aku merinding
melihat gerakan-gerakan halus di bawah air. Ribuan kerisi
dan cumi-cumi menyerbu perahu. Sampai habis tenagaku
meraupnya. Mereka tersihir cahaya obor dan aku tertenung
kehebatan Weh.
Hari pertama bulan September, Weh mengajakku berburu
ikan hiu gergaji. Kami menghadang kawanan besar,
memotong jalur migrasi kafilahnya dari terumbu-terumbu
Belonna yang dingin di Tasmania menuju Kuala Trenggano
yang hangat. Semakin dekat, raksasa-raksasa kelabu itu ternyata
jauh lebih besar dari yang selalu kubayangkan. Mereka
adalah gajah di laut. Air bah bersimbah setiap kali mereka
mengempaskan dadanya yang dilekati teritip. Aku gemetar
mengokang tuas harpun dan membidik seekor hiu yang
lebih panjang dari perahu kami. Kuinjak pegas tuas, tempuling
yang ditambat seutas tali melesat dari larasnya, menikam
punggung hiu dan penguasa laut itu menggelinjang
berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu.
Simpul tempuling dalam genggamku tersentak, aku terlempar
ke udara, melayang, lalu tertujam ke laut laksana peluru.
Weh terjun menyelamatkanku. la meraih tali tempuling,
aku menahannya. Aku tak rela melepaskan hiu besar itu. Ini
adalah perburuanku yang pertama, pertaruhan harga diri-
ku. Aku terombang-ambing diseret hiu yang kalap. Weh
mencabut sundang di pinggangnya, dengan satu gerakan
tangkas, meski tertahan tekanan air. la menampas tali tempuling.
Aku terlonjak ke permukaan, kehabisan napas.
"Keras kepala!
"Keras kepala, seperti ibumu!
"Kau bisa tewas tak berguna!"
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Kuangkat
wajahku, tak kusembunyikan siapa diriku.
Perburuan itu, pembuktian martabat itu, berakhir dengan
kesimpulan bahwa aku pantas diajak Weh mengelana
samudra.
beranjak pulang.
Di tengah perjalanan kembali, Weh menghampiriku.
"Ikal, malam ini, engkaulah nakhoda," tantangnya.
Aku terpana. Laut, hanya laut dan riak gelombang, delapan
penjuru angin, sejauh pandang. Bagaimana aku akan
membawa perahu kecil ini pulang?
"Kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki,
Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin."
Aku mereka-reka arah, tanpa kompas, tak dapat kubuat
keputusan apa pun. Weh bersungut-sungut, menikmati saat
berkuasa karena ilmunya. Ia diam sampai aku menyerah.
Sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang jauh,
nun di
menjelma di horizon.
"Rasi belantik....
"Itulah timur...."
Aku kagum. Perlahan kuputar gagang kemudi. Sekarang
barat daya jelas bagiku. Ke sanalah tujuanku. Sepanjang
malam aku menatap belantik. Rasi itu bergerak pelan
seakan meniti langit karena bumi berputar.
lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh
bumi ini bulat. Tengah malam, trapesium belantik terpancang
tepat di atas kepalaku, kubelokkan perahu ke timur
laut. Weh berkisah.
"Tahukah engkau, Ikal...?
"Langit adalah kitab yang terbentang...."
Perahu menyusur gugusan pulau.
"Sejak masa Azoikum, ketika kehidupan belum muncul,
langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi...."
Dedaunan trembesi yang merunduk memagari tepian
delta, pukat yang centang-perenang, tonggak-tonggak tambak
yang diabaikan, laut sepi pasang malam, dan kecipuk
anak-anak buaya muara, tepekur menyimaknya.
"Semburat awan-awan tipis itu ...."
Weh menuding langit utara. Berjuta serpih putih terapung-
apung seperti telah dihalau tenaga dahsyat, punggung
gemawan berkilau membias cahaya rembulan.
"Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini
menyapu Selat Gaspar...."
Dramatis.
"Awan-awan sisik di tenggara
lagi telur-telur ikan belanak akan menetas ...."
Aku terpesona.
"Angin ini, semilir angin ini! Ikal! Dapatkah kaurasakan?"
Weh bersidekap, kedinginan.
"Ini bukan Angin Selatan! Ini Angin Timur!
"Artinya, kemarau akan panjang tahun ini."
Weh bangkit.
"Tampakkah olehmu lingkaran itu?"
Weh menunjuk berjuta bintang, tak kasat olehku lingkaran
itu karena tersembunyi di antara gemerlap miliaran
benda langit. la menarik sebatang kayu bakar dan melukis
langit. Bara kayu bakar melingkar
merah. Aku mengikuti lukisannya.
Perlahan, seperti menyimak
gambar tiga dimensi,
sebentuk lingkaran merekah.
la membagi lingkaran
menjadi dua belas iris. Ajaib!
Di setiap puncak jejarinya
tampak bintang yang lebih gemerlap
dari sekitarnya. Dipatrinya
simbol-simbol aneh dalam setiap iris lingkarannya, berulang-
ulang, sehingga dapat kugambar dalam kepalaku.
Pada setiap simbol Weh bersabda, "Keseimbangan,
perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas,
bintang kastor, musim menyemai benih ...."
Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata
Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk
membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu.
Aku mengerti, itulah konstelasi zodiak!
Pada iris kesepuluh ia berpaling padaku.
"Anak Muda, dirimu, lelaki Oktober. Sambaran api
Mars dan arus dingin Pluto akan menjebakmu ...."
Napasku tercekat.
"Engkau, laki-laki zenit dan
nadir...."
Aku terkesiap. Malam
itu, ingin kujadikan malam
puisi-puisi Lucretius
tentang jagat angkasa, galaksi
andromeda, dan nebula-
nebula triangulum.
Tak '
pertanyaan-pertanyaan praktis
untuk menerjemahkan kalimatnya yang bersayap-sayap.
Malam itu terlalu agung untuk memohon petunjuk pedoman
hidup yang oportunistik kepada seorang pembaca
langit yang adiluhung.
Angin meniup layar, perahu menusuk kabut. Dini hari,
tampak sayup setangkup wujud diselimuti halimun hanyut.
Apakah pulau itu tujuanku?
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu,
predator itu ingin menyerbu kawanan pipit yang baru bangun
di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di
bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku,
Belitong. Aku berdiri di hidung haluan seperti Admiral
Hook. Aku telah menjadi seorang navigator alam. Weh-lah
guru yang mengajariku mengeja bintang. Sulit kugambarkan
perasaanku. Aku pulang dari tengah samudra dengan
membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama
kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki.
***
Berat sekali ketika harus kembali kutinggalkan Weh dua
minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi
kertas ujian, pikiranku tak dapat kualihkan dari rencana
kami berlayar ke Mentawai untuk melihat penduduknya
melukis tubuh dengan tinta daun. Pulangnya, kami
akan memburu gurita.
Turun dari bus reyot, tak sempat aku pulang ke rumah,
aku langsung ke pangkalan. Namun, kulihat perahu
Weh limbung, layaknya bahtera tak bertuan. Penambatnya
terseret lunglai. Lampu badai masih menyala. Layarnya bergulung.
Di ujungnya terjuntai sepasang kaki yang pucat.
Hatiku dingin. Aku melompat ke sungai, berenang menuju
perahu. Tubuh Weh terbungkus lilitan layar, berayunayun.
Laki-laki pembaca langit itu telah mati, mati meragan
menggantung dirinya sendiri di tiang layar. Penyakit yang
tak tertanggungkan telah merobohkan benteng terakhir semangatnya,
benteng terakhir itu adalah aku.
Tubuhku menggigil waktu membuka jalinan tali rami
yang menjerat lehernya. Kupeluk tubuh Weh, wajahnya
yang tua, keras, dan biru terkulai di lenganku. Di sakunya
masih mendesis lagu-lagu cinta orang Melayu dari programa
radio RPM
surut diisap sunyi semenanjung, serak ditingkah riak ombak,
lindap ditelan angin, terhalau ke Laut Cina Selatan.
Usungan digotong. Pemikulnya menggerutu. Seperti
hidup mereka yang terbuang, kuburan para pembunuh diri
itu pun dipisahkan, dikucilkan nun di
nifah, tempat gulma bergumpal-gumpal disarangi biawak.
Aku diam terpancang seperti nisan-nisan kayu sekunyit yang
didesaki ilalang. Orang Melayu bekerja keras sepanjang
hidup, membanting tulang-belulang, berkeringat darah, berlumur
cobaan berat, siapa yang menyerah tak dapat tempat
di hati mereka. Hanya aku sendiri yang tersedan. Lututku
lemas melihat Weh dicampakkan ke dalam lubang, diuruk
sekenanya, ditancapi gagang pacul yang tadi patah waktu
menggali liang lahatnya, lalu ditinggalkan begitu saja.
Pesan terakhir Weh, zenit dan nadir, seperti akar ilalang
yang menusuk-nusuk kakiku, menikam hatiku. Nanti, harus
kujelajah separuh dunia, berkelana di atas tanah-tanah
asing yang dijanjikan mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan
yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu
yang menyiksa, untuk memahami kalimah misterius
itu. Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama
itu, aku sadar aku telah belajar mencintai hidupku dari
orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang
pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri.
Mozaik 2
Persyarekatan
Bangsa-Bangsa
Einstein kedua dalam hidupku—yang mengenalkanku
pada diriku sendiri—adalah tokoh legendaris ini: Mak
Birah, dukun beranak kampung kami.
"Waktu kau lahir, Ikal....
"Nyalo."
Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu
jika kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya
angin, gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah malam pula...."
Mengapa alam bergelora menyambutku? Tak jelas,
yang pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan.
Ibu sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki:
ayahku dan empat orang abangku yang cenderung mengacau.
Tertekan batinnya mengurusi makhluk yang secara
alamiah punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu,
yang berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak
pada anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi
jiwanya, sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam
dengan menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu, setelah mendapat anak lelaki pada persalinan
pertama, Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan
Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak
Birah memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia
penghitungan suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan
Jepang sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk
meski Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang pada persalinan
keempat. la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak
dayang!
"Persalinan kelima ...," cerita Mak Birah.
"Bahkan ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya.
Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-
tunggu. Wassalam, ya wassalam. Secara halus, nama
itu berarti cahaya terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu.
Hari persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini
setiap aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu, perempuan yang keras pendiriannya....
"Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul
setengah dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu
sakit perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua
perintahku! Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat
jam weker.
"Jam weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah
tapi diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya
ke dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita makin seru.
"Hampir pukul dua belas malam, ketubannya pecah!
Ibumu megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan!
Matanya tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu
tak dapat membujuknya agar mengejan, keadaan
sudah gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus
jam weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!'
"Ibumu tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya
angin saja gertakku!
"Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti
kawat! Aku marah besar!"
Aku tegang menyimak.
"Kumarahi lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan
bayimu! Sekarang!'
"Ibumu pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah
kesabaranku!
"Apa kau mau mati, Nyi!?'
"Ibumu tersentak, ia menatapku, tajam sekali."
Dan inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh
cerita ini.
"Sambil terengah ibumu membentakku: 'Kautengok
baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya
lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir
tanggal 24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di
radio?! Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya
Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku
mau anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir,
sungsang, kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di
alam bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya
melihat dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah
bersorak.
"Nomor
Mozaik 3
Juru Pendamai
Bayi nomor
Aqil Barraq Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan,
bahasa tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain
adalah karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din.
Dalam terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu
kurang lebih Anak soleh berjidat mengilap yang tidak akan
melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya.
Di belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah
arti sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman
seperti kami, nama amat penting, nama berurusan dengan
agama dan dianggap sumber aura. Din itu buktinya,
asalnya Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres,
pasti namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba
itu dianut taat oleh ayahku.
Ternyata, harapan menggelora yang diletakkan di atas
deretan kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku
belum sekolah waktu bersekongkol dengan adikku—si no
mor enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok
bersalin—menyembunyikan naskah khatib sehingga ia
gelagapan di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan
Habil. Kejadian itu menjadi memorandum premier kejahatanku
seumpama catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas
umat.
Kalau terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan
beduk bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari
karena memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai
mukena sepupuku, menyelinap dalam saf putri,
membuat onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku
bambu dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan
ke jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit
yang mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum
laksana meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir.
"Keriting berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim,
penggawa yang kondang garangnya.
Aku ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku.
"Lihatlah dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru
pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya kaku karena bersusah payah menahan diri.
Aku tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan
yang lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia
semprotkan memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni
watak kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal
dari setiap inci dirinya.
"Terserah Yah Ni...."
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam
keadaan ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat
duduk belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke
tuas di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas
jari-jari ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN
Timah. Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian
hidup seperti dicontohkan burung-burung prenjak
berdasi, capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya
aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
Ingin tau lanjutan ceritanya? Tentunya ga seru dong kalo aku beberkan disini. Kamu bisa beli atau pinjem lah. Critanya ga kalah seru sama Sang Pemimpi pokoknya kwalitas tinggi deh. Nah klo mau beli. Kamu yang tinggal di di deket-deket Jl. Laksda Adisucipto, bisa beli di Social Agency, dapat diskon + Sampul lagi... Harga Rp 44.500,- (
By Muhammad Ikhwan Anas
23/8E
Tidak ada komentar:
Posting Komentar