Selasa, 07 Oktober 2008

Oktober

Mading Bulan Oktober

KEDELE

Karya Keren Delapan E

Terimakasih Telah mengunjungi website kami

Redaksi

Pelindung :

Drs. H Tri Rahardjo, M.Pd

Pembimbing :

Ibu Darini

Peng-edit :

M. Ikhwan Anas

Saifuddin Aziz

Peng-update :

M. Ikhwan Anas

Saifuddin Aziz

Hasil Foto :

Saifuddin Aziz

Tata Letak :

M. Ikhwan Anas

Karya-karya :

Siswa-Siswi kelas 8E SMP N 1 Kalasan


Tokoh Kita

Isaac Newton

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Issac Newton saat berusia 46 tahun pada lukisan karya Godfrey Kneller tahun 1689
Issac Newton saat berusia 46 tahun pada lukisan karya Godfrey Kneller tahun 1689

Sir Isaac Newton, (4 Januari 1643 - 31 Maret 1727; KJ: 25 Desember 1642 – 20 Maret 1727) adalah seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi dan juga ahli kimia yang berasal dari Inggris. Beliau merupakan pengikut aliran heliosentris dan ilmuwan yang sangat berpengaruh sepanjang sejarah, bahkan dikatakan sebagai bapak ilmu fisika modern.

Dengan berbagai hasil karya ilmiah yang dicapainya, Newton menulis sebuah buku Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, dimana pada buku tersebut dideskripsikan mengenai teori gravitasi secara umum, berdasarkan hukum gerak yang ditemukannya, dimana benda akan tertarik ke bawah karena gaya gravitasi. Bekerja sama dengan Gottfried Leibniz, Newton mengembangkan teori kalkulus. Newton merupakan orang pertama yang menjelaskan tentang teori gerak dan berperan penting dalam merumuskan gerakan melingkar dari hukum Kepler, dimana Newton memperluas hukum tersebut dengan beranggapan bahwa suatu orbit gerakan melingkar tidak harus selalu berbentuk lingkaran sempurna (seperti elipse, hiperbola dan parabola). Newton menemukan spektrum warna ketika melakukan percobaan dengan melewati sinar putih pada sebuah prisma, dia juga percaya bahwa sinar merupakan kumpulan dari partikel-partikel. Newton juga mengembangkan hukum tentang pendinginan yang di dapatkan dari teori binomial, dan menemukan sebuah prinsip momentum dan angular momentum.

Pendapat Kepala Akademi Ilmiah Berlin tentang Newton: "Newton ialah seorang jenius besar yang pernah ada dan paling beruntung, yang tak bisa kita temukan lebih dari suatu sistem dunia untuk didirikan." [See Shapley.]


Masa-masa Awal Isaac Newton

Newton dilahirkan di Woolsthorpe-by-Colsterworth, hamlet di county Lincolnshire lahir secara prematur, dimana saat itu bayi prematur tidak diharapkan kehadirannya di dunia. Ayahnya, Isaac, meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton, dan dua tahun kemudian ibunya, Hannah Ayscough Newton, menikah dengan lelaki lain dan meninggalkan Newton dengan neneknya. Newton merupakan kanak-kanak pintar.

Berdasarkan pernyataan E.T. Bell (1937, Simon and Schuster) dan H. Eves:

Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya. Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di-kost milik apoteker lokal yang bernama William Clarke. Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge pada usia 19, Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Saat Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran, kisah cintanya dengan menjadi semakin tidak menentu dan akhirnya Storer menikahi orang lain. Banyak yang menegatakan bahwa dia, Newton, selalu mengenang kisah cintanya walaupun selanjutnya tidak pernah disebutkan Newton memiliki seorang kekasih dan bahkan pernah menikah.

Sejak usia 12 hingga 17 tahun, Newton mengenyam pendidikan di sekolah The Kings School yang terletak di Grantham (tanda tangannya masih terdapat di perpustakaan sekolah). Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton terlihat tidak menyukai pekerjaan barunya. Tapi pada akhirnya setelah meyakinkan keluarga dan ibunya dengan bantuan paman dan gurunya, Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.

Daftar karya Newton


Karya (Puisi)
Karya (
Art Gallery 8E)

Pengetahuan

Buku Kita

Kali ini kita akan membahas novel ke-2 dari tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang kisah perjalanan 2 tokoh utama, yaitu 2 orang anak Belitong yang sangat gigih dalam menjalani hidup dan saling melengkapai. Ikal dan Arai.

Seting cerita ini tetap di Belitong, tetapi sekolahnya berbeda, kalau di Laskar Pelangi sekolahnya di SD dan SMP Muhammadiyah yang gurunya juga sama (Bu Mus dan Pak Harfan) di Novel ini sekolahnya memakai SMA Bukan Main, entah kenapa dinamakan seperti ini.

Jarak rumah Arai dan Ikal dengan sekolah kurang lebih 40 km. Bayangkan, sekolah tersebut mereka berdua tempuh dengan hanya bersepeda. Sepedanyapun masih sangat butut, bukan sepeda gunung atau sepeda lain yang sekarang.

Ingin tahu ceritanya? Berikut cuplikan ceritanya :

Mozaik 1

What a Wonderful World

Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang

dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak

sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung

di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit,

matahari rendah memantulkan uap lengket yang

terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang

pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan

ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut

yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca

gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti

reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut

dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku

terkurung, terperangkap, mati kutu.

Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama

punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-

jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku

tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari

peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan

rasa takut.

Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang

sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya

pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat.

Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian

ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la

lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa

pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja

berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-

kejar seorang tokoh paling antagonis.

Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu

terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi

kerang-kerang halus.

Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran.

Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal....

Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian

lihat para-para itu...?"

Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan

sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran

daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya,

dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na-

sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya

aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.

Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-

liuk pilu dari pabrik itu.

"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A

Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman

Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya,

ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk

melempar kepalanya.

"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama

sekali! Jimbron mau kauapakan??!!"

Jimbron yang penakut memohon putus asa.

"Aku tak bisa melompat, Kal...."

Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik

para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa

tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang

saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan

sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit,

mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang

Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati

Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka

selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan

anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.

Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron,

dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh

ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami

menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.

Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana

mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa

terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.

Pancaran matahari menikam lubang-lubang

dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan

pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung

melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.

Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini,

musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh

langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak

berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan

kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun

depan.

Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan

kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi

lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel.

Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma

mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia

alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk,

dan napasnya mendengus satu-satu.

Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus

sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan

nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga

bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga

tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi

bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama

pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya:

MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.

Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku

basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis

itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling

berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih.

Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya

dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya,

aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat,

seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata.

Pak Mustar menyandang semua julukan seram

yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras

dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian

tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari

gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat

tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.

"Berrrrandalll!!"

Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat

telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu

untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu.

Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan

tubuh.

***

Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia,

kampung kami tak 'kan pernah punya SMA. la salah

satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah

SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami

harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer

jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA

Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar

berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya

tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan,

anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya,

sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas

minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya

hanya 41,75.

Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka

akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya

itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA

ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas

di pesisir timur, maka ia mengandung makna

dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang ketika

mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat

orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit.

Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari

bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena

saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa

gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat

buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di

SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong

Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu.

Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu,

Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung

ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi

tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih

kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang

Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan

bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka

pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.

"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar,

tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar

anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak

tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat

kursi di SMA Bukan Main.

"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan

suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu

di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda

berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kan kisah itu?

'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?"

Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa.

Senyumnya tak enak.

"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu

itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak

bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana

pendapatmu?"

Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi

raja hantu.

Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental,

tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan

situasi, di depan orang banyak ia memprotes

Pak Balia, atasannya sendiri.

"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua

murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.

Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya

dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "... Sok

idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...."

Benar saja.

"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan

kualifikasi anak saya dibanding anak-anak lain

yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"

Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak

Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi

anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih

dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku,

yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha

membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga

kami, agar tak mendengar pertengkaran yang

sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar

jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti

segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalah

simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak

menoleransi persekongkolan!!"

Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta

memprovokasi, "Bagaimana para orangtua??

Setuju dengan pendapat itu?!"

la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan

pinggang.

"Tanpa saya SMA ini tak 'kan pernah berdiri!! Saya

babat alas di sini!!"

Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar

panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang

bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya

ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi

pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.

"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak

ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati

aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,

terlalu banyak kongkalikong!!"

Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi

Pak Balia telanjur jengkel.

"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya

anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada

khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini.

NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!"

Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua.

Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik

ini tak 'kan pernah berkenalan dengan istilah studi

banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian

itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan

besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada

para siswa yang diterima.

"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anakanak

muda Melayu zaman sekarang." Demikian jargon

pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.

la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng

Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara

pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-

masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut.

Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan

dengan gunting yang tajam!!"

***

Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum

jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau

berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya

banyak siswa yang terlambat, termasuk aku,

Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang

terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja,

mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa

yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!

Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak

dua orang penjaga sekolah mengejar kami.

Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya

di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis-

wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet.

Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana.

"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan

kiri kanan.

"Tak ada kompetisi!!"

Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti

buah mentega.

"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"

Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap

daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan

untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung

itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya

dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas.

Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup

kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi

semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak

hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir

seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan

tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah

bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak

muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi,

aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan

tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika

bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan

jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah,

elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!

Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai

Sang Maha Pencipta semacam penglihatan

yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi

mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik

pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku,

sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki

yang berbau seperti ikan pari.

Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan

gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran

manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock

Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang

karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka

menatap sesuatu di belakangku seperti melihat

kuntilanak.

Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan

akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri

di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai

kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat

tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku,

menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing

bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan

ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta

dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!

Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar

menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik,

mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tena-

ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian

aku melesat kabur.

"Berrrandallllll!!!"

Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku

dan berusaha menjambak rambutku dengan

tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-

gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk

Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai

arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku!

Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit

penjaga sekolah meraung-raung menerorku.

Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!

Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku

juga sial karena aku adalah sprinter SMA Bukan

Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh

menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar.

Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun

putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu

itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-

lolong mendukungku.

"Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"

Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang

tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak-

teriak histeris membelaku, hanya membelaku

sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap

dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.

"Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."

Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap

langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun

antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat

sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing

berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa

tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting,

dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor

tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang

gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.

Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke

utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu

menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan

dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda.

Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang

parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya

susah payah, rebah satu per satu seperti permainan

mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan

yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap,

bangkit, dan pontang-panting kabur.

Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran

dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang

kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara

gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan

komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-

jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam

ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se-

kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna.

Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin

lama semakin jauh.

Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan

panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"

Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter

dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron

dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika

berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka

yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi

jalur perburuan Pak Mustar.

"Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."

Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.

"Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu,

Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"

Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya,

Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu

memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya.

Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun

benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang

Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang

yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya

di gudang peti es inilah kami terperangkap.

***

Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir

di luar tanpa menyadari kami ada di dalam gudang peti

es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar.

Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya.

Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang

seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman

mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi

uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun.

Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok

jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada

di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena

mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong

jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok

TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya,

berada di blok B, sel isolasi.

Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi,

pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya.

Sejarah menunjukkan bahwa Alexander

Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak,

Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan

darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut

legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah

manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku

menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi

yang tak dapat diduga.

Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau

amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku

menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan

ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan menuju

pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang.

Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot

vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat menguasai

diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang

vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit

Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia

pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak

buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu

dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara

dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena

kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan

menuduh kami mencuri.

Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal,

disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya

seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi,

dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi

Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung

sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta

Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat

jelas dari matanya.

Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin,

Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang.

Gagal menjadi petani jagung, para transmigran

ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta

dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng-

giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai

terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di

ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting,

aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku,

tangan Arai.

"Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es.

Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!

Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense.

Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan

cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang

sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup

peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis

yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah

pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir

olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi

kami tak punya pilihan lain.

"Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa.

Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali

aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji

raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena

berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok

es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron

dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo.

"Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!"

"Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau

tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"

Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini,

maka hanya aku yang berhak membuat perintah. "Tak

sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?"

Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau

berurusan dengan Capo?!"

Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.

"Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk

itu...."

Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis

sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya

yang legendaris.

"Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau tak punya wewenang

ilmiah untuk menentukan penyakit!!"

"Masuk!!"

Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika

dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari

130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika

bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan napas perih

menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris

karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit

lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau

anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.

Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka

yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup.

Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang.

"Min, Mo, angkut yang ini!"

Peti itu miring—kami tercekat—tapi sama sekali

tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba berkalikali,

masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir

keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang

Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah

duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian

janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan

itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar

seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.

"Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat.

Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak berguna!"

Sekarang delapan orang memikul peti dan peti

meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti

tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang

Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson

sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut

dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para

tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan

beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil

yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku

kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron,

lambat namun keras, gelisah dan mencekam.

Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para

pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing

tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa

baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan

yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya,

senyumnya semakin girang.

"Fantastik bukan?" pasti itu maksudnya.

Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku

menghujam bola matanya, menyusupi lensa,

selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk

hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.

Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada

sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang

sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu

lagu syahdu "What a Wonderful World" mengalir pelan.

Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan

pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil

Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis

bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung

busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan

cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora.

Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai

di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap

kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta.

Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai?

Beginikah seorang pemimpi melihat dunia?

"Brragghh!!!"

Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam

putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat

peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik

demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu per

satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati

peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika Capo

mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia

menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah

seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat

hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.

Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya

merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat

yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya.

Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan

kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang

panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan

udang rebon basi. Kami melenggang tenang

dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan

main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir

jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya

menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit

mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.

"Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"

Ingin tau lanjutan ceritanya? Tentunya ga seru dong kalo aku beberkan disini. Kamu bisa beli atau pinjem lah. Critanya ga kalah seru sama Laskar Pelangi pokoknya kwalitas tinggi deh. Nah klo mau beli. Kamu yang tinggal di di deket-deket Jl. Laksda Adisucipto, bisa beli di Social Agency, dapat diskon + Sampul lagi... Harga Rp 49.500,-

By Muhammad Ikhwan Anas

23/8E

Email: anaz_filatelis@yahoo.com

Tidak ada komentar: