KEDELE |
Karya Keren Delapan E |
Terimakasih Telah mengunjungi website kami |
Redaksi |
Pelindung : Drs. H Tri Rahardjo, M.Pd Pembimbing : Ibu Darini Peng-edit : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Peng-update : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Hasil Foto : Saifuddin Aziz Tata Letak : M. Ikhwan Anas Karya-karya : Siswa-Siswi kelas 8E SMP N 1 Kalasan |
Tokoh Kita
Isaac Newton
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sir Isaac Newton, (4 Januari 1643 - 31 Maret 1727; KJ: 25 Desember 1642 – 20 Maret 1727) adalah seorang fisikawan, matematikawan, ahli astronomi dan juga ahli kimia yang berasal dari Inggris. Beliau merupakan pengikut aliran heliosentris dan ilmuwan yang sangat berpengaruh sepanjang sejarah, bahkan dikatakan sebagai bapak ilmu fisika modern.
Dengan berbagai hasil karya ilmiah yang dicapainya, Newton menulis sebuah buku Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, dimana pada buku tersebut dideskripsikan mengenai teori gravitasi secara umum, berdasarkan hukum gerak yang ditemukannya, dimana benda akan tertarik ke bawah karena gaya gravitasi. Bekerja sama dengan Gottfried Leibniz, Newton mengembangkan teori kalkulus. Newton merupakan orang pertama yang menjelaskan tentang teori gerak dan berperan penting dalam merumuskan gerakan melingkar dari hukum Kepler, dimana Newton memperluas hukum tersebut dengan beranggapan bahwa suatu orbit gerakan melingkar tidak harus selalu berbentuk lingkaran sempurna (seperti elipse, hiperbola dan parabola). Newton menemukan spektrum warna ketika melakukan percobaan dengan melewati sinar putih pada sebuah prisma, dia juga percaya bahwa sinar merupakan kumpulan dari partikel-partikel. Newton juga mengembangkan hukum tentang pendinginan yang di dapatkan dari teori binomial, dan menemukan sebuah prinsip momentum dan angular momentum.
Pendapat Kepala Akademi Ilmiah Berlin tentang Newton: "Newton ialah seorang jenius besar yang pernah ada dan paling beruntung, yang tak bisa kita temukan lebih dari suatu sistem dunia untuk didirikan." [See Shapley.]
Masa-masa Awal Isaac Newton
Newton dilahirkan di Woolsthorpe-by-Colsterworth, hamlet di county Lincolnshire lahir secara prematur, dimana saat itu bayi prematur tidak diharapkan kehadirannya di dunia. Ayahnya, Isaac, meninggal tiga bulan sebelum kelahiran Newton, dan dua tahun kemudian ibunya, Hannah Ayscough Newton, menikah dengan lelaki lain dan meninggalkan Newton dengan neneknya. Newton merupakan kanak-kanak pintar.
Berdasarkan pernyataan E.T. Bell (1937, Simon and Schuster) dan H. Eves:
“ | Newton memulai sekolah saat tinggal bersama neneknya di desa dan kemudian dikirimkan ke sekolah bahasa di daerah Grantham dimana dia akhirnya menjadi anak terpandai di sekolahnya. Saat bersekolah di Grantham dia tinggal di-kost milik apoteker lokal yang bernama William Clarke. Sebelum meneruskan kuliah di Universitas Cambridge pada usia 19, Newton sempat menjalin kasih dengan adik angkat William Clarke, Anne Storer. Saat Newton memfokuskan dirinya pada pelajaran, kisah cintanya dengan menjadi semakin tidak menentu dan akhirnya Storer menikahi orang lain. Banyak yang menegatakan bahwa dia, Newton, selalu mengenang kisah cintanya walaupun selanjutnya tidak pernah disebutkan Newton memiliki seorang kekasih dan bahkan pernah menikah. | ” |
Sejak usia 12 hingga 17 tahun, Newton mengenyam pendidikan di sekolah The Kings School yang terletak di Grantham (tanda tangannya masih terdapat di perpustakaan sekolah). Keluarganya mengeluarkan Newton dari sekolah dengan alasan agar dia menjadi petani saja, bagaimanapun Newton terlihat tidak menyukai pekerjaan barunya. Tapi pada akhirnya setelah meyakinkan keluarga dan ibunya dengan bantuan paman dan gurunya, Newton dapat menamatkan sekolah pada usia 18 tahun dengan nilai yang memuaskan.
Daftar karya Newton
- Method of Fluxions (1671)
- De Motu Corporum (1684)
- Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687)
- Opticks (1704)
- Reports as Master of the Mint (1701-1725)
- Arithmetica Universalis (1707)
- An Historical Account of Two Notable Corruptions of Scripture(1754)
Karya (Puisi)
Karya (Art Gallery 8E)
Pengetahuan
Buku Kita

Kali ini kita akan membahas novel ke-2 dari tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang kisah perjalanan 2 tokoh utama, yaitu 2 orang anak Belitong yang sangat gigih dalam menjalani hidup dan saling melengkapai. Ikal dan Arai.
Seting cerita ini tetap di Belitong, tetapi sekolahnya berbeda, kalau di Laskar Pelangi sekolahnya di SD dan SMP Muhammadiyah yang gurunya juga sama (Bu Mus dan Pak Harfan) di Novel ini sekolahnya memakai SMA Bukan Main, entah kenapa dinamakan seperti ini.
Jarak rumah Arai dan Ikal dengan sekolah kurang lebih 40 km. Bayangkan, sekolah tersebut mereka berdua tempuh dengan hanya bersepeda. Sepedanyapun masih sangat butut, bukan sepeda gunung atau sepeda lain yang sekarang.
Ingin tahu ceritanya? Berikut cuplikan ceritanya :
Mozaik 1
What a Wonderful World
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang
dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak
sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung
di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit,
matahari rendah memantulkan uap lengket yang
terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang
pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan
ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut
yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca
gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti
reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut
dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku
terkurung, terperangkap, mati kutu.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama
punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-
jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku
tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari
peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan
rasa takut.
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang
sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya
pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat.
Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian
ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la
lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa
pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja
berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar-
kejar seorang tokoh paling antagonis.
Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu
terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi
kerang-kerang halus.
Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran.
Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. "Ikal....
Aku tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian
lihat para-para itu...?"
Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan
sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran
daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya,
dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na-
sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya
aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.
Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk-
liuk pilu dari pabrik itu.
"Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A
Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman
Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya,
ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk
melempar kepalanya.
"Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama
sekali! Jimbron mau kauapakan??!!"
Jimbron yang penakut memohon putus asa.
"Aku tak bisa melompat, Kal...."
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik
para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa
tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang
saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan
sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit,
mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang
Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati
Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka
selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan
anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.
Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron,
dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh
ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami
menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.
Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa
terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.
Pancaran matahari menikam lubang-lubang
dinding papan seperti batangan baja stainless, menciptakan
pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung
melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.
Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini,
musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh
langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak
berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan
kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun
depan.
Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan
kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi
lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel.
Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma
mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia
alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk,
dan napasnya mendengus satu-satu.
Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus
sinar stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan
nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga
bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga
tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi
bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama
pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya:
MUSTAR M. DJAI'DIN, B.A.
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku
basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis
itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling
berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih.
Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya
dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya,
aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat,
seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata.
Pak Mustar menyandang semua julukan seram
yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras
dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian
tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari
gelar B.A. itu ia adalah suhu tertinggi perguruan silat
tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
"Berrrrandalll!!"
Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat
telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu
untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu.
Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan
tubuh.
***
Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia,
kampung kami tak 'kan pernah punya SMA. la salah
satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah
SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami
harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer
jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA
Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar
berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya
tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan,
anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya,
sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas
minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya
hanya 41,75.
Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka
akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya
itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA
ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas
di pesisir timur, maka ia mengandung makna
dari setiap syair lagu "Godeamus Igitur" yang ketika
mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat
orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit.
Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari
bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena
saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa
gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat
buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di
SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong
Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu.
Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu,
Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung
ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi
tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih
kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang
Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan
bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka
pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
"... Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar,
tiang bender a ...," rayu seorang tauke berbisik agar
anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak
tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat
kursi di SMA Bukan Main.
"Aha! Tawaran yang menggiurkan!!" Pak Balia meninggikan
suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu
di tengah majelis. "Seperti Nicholas Beaurain digoda
berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kan kisah itu?
'Gairah Cinta di Hutan'? Guy de Maupassant?"
Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa.
Senyumnya tak enak.
"Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu
itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak
bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana
pendapatmu?"
Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi
raja hantu.
Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental,
tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan
situasi, di depan orang banyak ia memprotes
Pak Balia, atasannya sendiri.
"Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua
murid. Bicaralah baik-baik ...," bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya
dari atas ke bawah, artinya kurang lebih, "... Sok
idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ...."
Benar saja.
"Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan
kualifikasi anak saya dibanding anak-anak lain
yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"
Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak
Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi
anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih
dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku,
yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha
membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga
kami, agar tak mendengar pertengkaran yang
sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar
jelas argumen cerdas Pak Balia, "0,25 itu berarti
segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalah
simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak
menoleransi persekongkolan!!"
Tersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta
memprovokasi, "Bagaimana para orangtua??
Setuju dengan pendapat itu?!"
la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan
pinggang.
"Tanpa saya SMA ini tak 'kan pernah berdiri!! Saya
babat alas di sini!!"
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar
panji ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang
bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginya
ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi
pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
"Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak
ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati
aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini,
terlalu banyak kongkalikong!!"
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi
Pak Balia telanjur jengkel.
"Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya
anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada
khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini.
NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!"
Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua.
Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik
ini tak 'kan pernah berkenalan dengan istilah studi
banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian
itu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan
besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada
para siswa yang diterima.
"Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anakanak
muda Melayu zaman sekarang." Demikian jargon
pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng
Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara
pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, "Masalah-
masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut.
Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan
dengan gunting yang tajam!!"
***
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum
jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau
berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya
banyak siswa yang terlambat, termasuk aku,
Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang
terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja,
mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa
yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!
Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak
dua orang penjaga sekolah mengejar kami.
Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya
di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis-
wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet.
Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana.
"Kesempatan baik, Bron!!" aku girang, celingukan
kiri kanan.
"Tak ada kompetisi!!"
Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti
buah mentega.
"Mmhhh ... mmhhaa ... mainkan, Kal!!"
Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap
daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan
untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung
itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya
dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas.
Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup
kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi
semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak
hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir
seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan
tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah
bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak
muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi,
aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan
tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika
bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan
jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah,
elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!
Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai
Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi
mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik
pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku,
sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki
yang berbau seperti ikan pari.
Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan
gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran
manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock
Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang
karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka
menatap sesuatu di belakangku seperti melihat
kuntilanak.
Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan
akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri
di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai
kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat
tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku,
menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing
bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan
ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta
dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas!
Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar
menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik,
mencuri momentum dengan menumpukan seluruh tena-
ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian
aku melesat kabur.
"Berrrandallllll!!!"
Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku
dan berusaha menjambak rambutku dengan
tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh-
gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk
Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai
arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku!
Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit
penjaga sekolah meraung-raung menerorku.
Pritt!! Prriiiiiitttt... priiiiiiiiiittttt!!
Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku
juga sial karena aku adalah sprinter SMA Bukan
Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh
menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar.
Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun
putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu
itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong-
lolong mendukungku.
"Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii...!!"
Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang
tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak-
teriak histeris membelaku, hanya membelaku
sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap
dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.
"Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ...."
Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap
langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun
antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat
sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing
berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa
tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting,
dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor
tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang
gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.
Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke
utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu
menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan
dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda.
Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang
parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya
susah payah, rebah satu per satu seperti permainan
mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan
yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap,
bangkit, dan pontang-panting kabur.
Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran
dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang
kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara
gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan
komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit-
jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam
ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se-
kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna.
Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin
lama semakin jauh.
Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan
panggilan sial ini, "Ikal!! ... Ikal!!"
Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter
dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron
dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika
berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka
yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi
jalur perburuan Pak Mustar.
"Ikal... tolong, Kal.... Tolong ...."
Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.
"Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu,
Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!"
Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya,
Pak Mustar sumringah dan kembali bernafsu
memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya.
Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun
benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang
Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang
yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya
di gudang peti es inilah kami terperangkap.
***
Pak Mustar dan kedua penjaga sekolah mondar-mandir
di luar tanpa menyadari kami ada di dalam gudang peti
es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar.
Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya.
Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang
seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman
mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi
uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun.
Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok
jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada
di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena
mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong
jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok
TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya,
berada di blok B, sel isolasi.
Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi,
pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya.
Sejarah menunjukkan bahwa Alexander
Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak,
Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan
darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut
legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah
manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku
menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi
yang tak dapat diduga.
Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau
amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku
menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan
ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan menuju
pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang.
Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot
vespa Lambretta. Dan kami panik tak dapat menguasai
diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggang
vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit
Hupo, semacam capo, ketua preman pasar ikan. Ia
pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak
buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu
dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara
dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena
kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan
menuduh kami mencuri.
Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal,
disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya
seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi,
dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi
Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung
sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta
Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat
jelas dari matanya.
Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin,
Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang.
Gagal menjadi petani jagung, para transmigran
ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta
dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng-
giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai
terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di
ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting,
aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku,
tangan Arai.
"Ikal!" bisiknya sambil melirik peti es.
Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!
Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku suspense.
Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan
cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang
sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup
peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis
yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah
pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir
olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi
kami tak punya pilihan lain.
"Ikal! Masuk duluan!" perintah Arai sok kuasa.
Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali
aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji
raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena
berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok
es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron
dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo.
"Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!"
"Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau
tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!"
Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini,
maka hanya aku yang berhak membuat perintah. "Tak
sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?"
Arai jengkel. "Ini bukan demokrasi! Atau kau mau
berurusan dengan Capo?!"
Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.
"Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk
itu...."
Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis
sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya
yang legendaris.
"Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau tak punya wewenang
ilmiah untuk menentukan penyakit!!"
"Masuk!!"
Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika
dua tubuh kuli ngambat dengan berat tak kurang dari
130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika
bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan napas perih
menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris
karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit
lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau
anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.
Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka
yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup.
Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang.
"Min, Mo, angkut yang ini!"
Peti itu miring—kami tercekat—tapi sama sekali
tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba berkalikali,
masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir
keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang
Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah
duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian
janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan
itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar
seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.
"Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat.
Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya ... tak berguna!"
Sekarang delapan orang memikul peti dan peti
meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti
tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang
Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson
sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut
dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para
tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan
beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil
yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku
kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron,
lambat namun keras, gelisah dan mencekam.
Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para
pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing
tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa
baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan
yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya,
senyumnya semakin girang.
"Fantastik bukan?" pasti itu maksudnya.
Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku
menghujam bola matanya, menyusupi lensa,
selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk
hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.
Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada
sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang
sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu
lagu syahdu "What a Wonderful World" mengalir pelan.
Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan
pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil
Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis
bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung
busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan
cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora.
Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai
di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap
kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta.
Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai?
Beginikah seorang pemimpi melihat dunia?
"Brragghh!!!"
Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam
putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat
peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik
demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu per
satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati
peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika Capo
mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia
menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah
seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat
hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.
Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya
merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat
yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya.
Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan
kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang
panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan
udang rebon basi. Kami melenggang tenang
dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan
main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir
jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya
menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit
mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.
"Ikkhhhh ... ikkhhh ... ikkha ... ikan duyung!!!"
Ingin tau lanjutan ceritanya? Tentunya ga seru dong kalo aku beberkan disini. Kamu bisa beli atau pinjem lah. Critanya ga kalah seru sama Laskar Pelangi pokoknya kwalitas tinggi deh. Nah klo mau beli. Kamu yang tinggal di di deket-deket Jl. Laksda Adisucipto, bisa beli di Social Agency, dapat diskon + Sampul lagi... Harga Rp 49.500,-
By Muhammad Ikhwan Anas
23/8E
Email: anaz_filatelis@yahoo.com