Jumat, 26 Desember 2008

Januari

Mading Bulan Januari







Galileo Galilei

Galileo Galilei
Potret Galileo Galilei oleh Giusto Sustermans
Potret Galileo Galilei oleh Giusto Sustermans
Lahir 15 Februari 1564[1]
Pisa, Toscana - Italia[1]
Wafat 8 Januari 1642 (umur 77)[1]
Arcetri, Toscana - Italia[1]
Tempat tinggal Keadipatian Agung Toscana
Bidang Astronomi, Fisika dan Matematika
Alma Mater Universitas Pisa
Dikenal atas Kinematika
Teleskop
Tata surya
Agama Katolik Roma

Galileo Galilei (lahir di Pisa, Toscana, 15 Februari 1564 – wafat di Arcetri, Toscana, 8 Januari 1642 dalam umur 77 tahun) adalah seorang astronom, filsuf, dan fisikawan Italia yang memiliki peran besar dalam revolusi ilmiah. Dalam karya besarnya, De Revolutionibus, Galilei menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya, sebagaimana yang dianut orang sejak masa Aristoteles dan juga dianut oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk gereja katolik. Akibat pandangannya yang dianggap merusak iman, ia diajukan ke pengadilan gereja Italia pada 22 Juni 1633. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan keyakinan gereja bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Ia divonis dengan pengucilan (tahanan rumah) sampai meninggalnya. Baru pada tahun 1992 Paus Johannes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman itu adalah salah, dan dalam pidato 21 Desember 2008 Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa gereja Katolik merehabilitasi namanya sebagai ilmuwan.[2]

Karya-karyanya antara lain adalah penyempurnaan teleskop, berbagai observasi astronomi, dan hukum gerak pertama dan kedua. Selain itu, Galileo juga dikenal sebagai seorang pendukung Copernicus.

Menurut Stephen Hawking, Galileo kemungkinan besar adalah penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Ia juga sering disebut-sebut sebagai "bapak astronomi modern", "bapak fisika modern", dan "bapak sains". Hasil usahanya bisa dikatakan sebagai terobosan besar dari Aristoteles. Konfliknya dengan Gereja Katolik Roma (Peristiwa Galileo) adalah sebuah contoh awal konflik antara otoritas agama dengan kebebasan berpikir (terutama dalam sains) pada masyarakat Barat.

Biografi

Galileo Galilei dilahirkan di Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564 sebagai anak pertama dari Vincenzo Galilei, seorang matematikawan dan musisi asal Florence, dan Giulia Ammannati. Ia sudah dididik sejak masa kecil. Kemudian, ia belajar di Universitas Pisa namun terhenti karena masalah keuangan. Untungnya, ia ditawari jabatan di sana pada tahun 1589 untuk mengajar matematika. Setelah itu, ia pindah ke Universitas Padua untuk mengajar geometri, mekanika, dan astronomi sampai tahun 1610. Pada masa-masa itu, ia sudah mendalami sains dan membuat berbagai penemuan.

Pada tahun 1612, Galileo pergi ke Roma dan bergabung dengan Accademia dei Lincei untuk mengamati bintik matahari. Di tahun itu juga, muncul penolakan terhadap teori Copernicus, teori yang didukung oleh Galileo. Pada tahun 1614, dari Santa Maria Novella, Tommaso Caccini mengecam pendapat Galileo tentang pergerakan bumi, memberikan anggapan bahwa teori itu sesat dan berbahaya. Galileo sendiri pergi ke Roma untuk mempertahankan dirinya. Pada tahun 1616, Kardinal Roberto Bellarmino menyerahkan pemberitahuan yang melarangnya mendukung maupun mengajarkan teori Copernicus.

Galileo menulis Saggiatore di tahun 1622, yang kemudian diterbitkan pada 1623. Pada tahun 1624, ia mengembangkan salah satu mikroskop awal. Pada tahun 1630, ia kembali ke Roma untuk membuat izin mencetak buku Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo yang kemudian diterbitkan di Florence pada 1632. Namun, di tahun itu pula, Gereja Katolik menjatuhkan vonis bahwa Galileo harus ditahan di Siena.

Di bulan Desember 1633, ia diperbolehkan pensiun ke vilanya di Arcetri. Buku terakhirnya, Discorsi e dimostrazioni matematiche, intorno à due nuove scienze diterbitkan di Leiden pada 1638. Di saat itu, Galileo hampir buta total. Pada tanggal 8 Januari 1642, Galileo wafat di Arcetri saat ditemani oleh Vincenzo Viviani, salah seorang muridnya.

Astronomi

Tidak seperti yang dipercaya sebagian orang, Galileo tidak menciptakan teleskop tapi ia telah menyempurnakan alat tersebut. Ia menjadi orang pertama yang memakainya untuk mengamati langit, dan untuk beberapa waktu, ia adalah satu dari sedikit orang yang bisa membuat teleskop sebagus itu. Awalnya, ia membuat teleskop hanya berdasarkan deskripsi tentang alat yang dibuat di Belanda pada 1608. Ia membuat sebuah teleskop dengan perbesaran 3x dan kemudian membuat model-model baru yang bisa mencapai 32x. Pada 25 Agustus 1609, ia mendemonstrasikan teleskop pada pembuat hukum dari Venesia. Selain itu, hasil kerjanya juga membuahkan hasil lain karena ada pedagang-pedagang yang memanfaatkan teleskopnya untuk keperluan pelayaran. Pengamatan astronominya pertama kali diterbitkan di bulan Maret 1610, berjudul Sidereus Nuncius.

Galileo menemukan tiga satelit alami Jupiter -Io, Europa, dan Callisto- pada 7 Januari 1610. Empat malam kemudian, ia menemukan Ganymede. Ia juga menemukan bahwa bulan-bulan tersebut muncul dan menghilang, gejala yang ia perkirakan berasal dari pergerakan benda-benda tersebut terhadap Jupiter, sehingga ia menyimpulkan bahwa keempat benda tersebut mengorbit planet.

Galileo adalah salah satu orang Eropa pertama yang mengamati bintik matahari, diperkirakan astronom Tionghoa sudah mengamatinya sejak lama. Selain itu, Galileo juga adalah orang pertama yang melaporkan adanya gunung dan lembah di bulan, kesimpulan yang diambil melihat dari pola bayangan yang ada di permukaan. Ia kemudian memberi kesimpulan bahwa bulan itu "kasar dan tidak rata, seperti permukaan bumi sendiri", tidak seperti anggapan Aristoteles yang menyatakan bulan adalah bola sempurna.

Galileo juga mengamati planet Neptunus pada 1612 namun ia tidak menyadarinya sebagai planet. Pada buku catatannya, Neptunus tercatat hanya sebagai sebuah bintang yang redup.








Teleskop

Teleskop atau teropong adalah instrumen pengamatan yang berfungsi mengumpulkan radiasi elektromagnetik dan sekaligus membentuk citra dari benda yang diamati[1]. Teleskop merupakan alat paling penting dalam pengamatan astronomi. Jenis teleskop (biasanya optik) yang dipakai untuk maksud bukan astronomis antara lain adalah transit, monokular, binokular, lensa kamera, atau keker. Teleskop memperbesar ukuran sudut benda, dan juga kecerahannya.

Galileo diakui menjadi yang pertama dalam menggunakan teleskop untuk maksud astronomis. Pada awalnya teleskop dibuat hanya dalam rentang panjang gelombang tampak saja (seperti yang dibuat oleh Galileo, Newton, Foucault, Hale, Meinel, dan lainnya), kemudian berkembang ke panjang gelombang radio setelah tahun 1945, dan kini teleskop meliput seluruh spektrum elektromagnetik setelah makin majunya penjelajahan angkasa setelah tahun 1960.

Penemuan atau prediksi akan adanya pembawa informasi lain (gelombang gravitasi dan neutrino) membuka spekulasi untuk membangun sistem deteksi bentuk energi tersebut dengan peranan yang sama dengan teleskop klasik. Kini sudah umum untuk menyebut teleskop gelombang gravitasi atau pun teleskop partikel berenergi tinggi.

Sejarah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengamatan pada lima abad lalu membawa manusia untuk memahami benda-benda langit terbebas dari selubung mitologi. Galileo Galilei (1564-1642) dengan teleskop refraktornya mampu menjadikan mata manusia "lebih tajam" dalam mengamati benda langit yang tidak bisa diamati melalui mata bugil.

Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih tajam, ia bisa melihat berbagai perubahan bentuk penampakan Venus, seperti Venus Sabit atau Venus Purnama sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap Matahari. Teleskop Galileo terus disempurnakan oleh ilmuwan lain seperti Christian Huygens (1629-1695) yang menemukan Titan, satelit Saturnus, yang berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter.

Perkembangan teleskop juga diimbangi pula dengan perkembangan perhitungan gerak benda-benda langit dan hubungan satu dengan yang lain melalui Johannes Kepler (1571-1630) dengan Hukum Kepler. Dan puncaknya, Sir Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum gravitasi. Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian dan perhitungan benda-benda langit selanjutnya .

















Ketika Cinta Bertasbih I:

Sebuah Novel Pembangkit Semangat

Hallo kawan!!! sebelumnya makasih udah mau mengunjungi website 8E kami ini.

Satu lagi buku yang harus kamu baca: Dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Karya Habiburrahman El Shirazy ini bercerita tentang mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Universitas Al-Azhar Mesir.

Azzam namanya, dia sudah 9 tahun di Mesir. Tapi dia belum juga mendapat gelar sarjana. Dia lebih terkenal sebagai penjual tempe dan bakso.

Kisah di novel ini sangat bagus untuk dibaca.

Nah biar ga’ penasaran, nih aku berikan cuplikan bab pertamanya:

1

SENJA BERTASBIH DI ALEXANDRIA

Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu

memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah

menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara,

dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat

cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai

menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.

Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik

bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumah-rumahan

dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir pasir putih tampak

seumpama butir-butir emas yang lembut berkilauan diterpa

sinar matahari senja.

Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang mudamudi

tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih

ada yang membawa buku-buku tebal di tangan. Menandakan

mereka baru saja dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah.

Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka

daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan

pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama

dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.

Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama.

Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu,

saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita

yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran

mereka adalah pesona sang kekasih yang dicinta. Tak terlintas

sedikit pun bahwa senja yang indah yang mereka lalui itu akan

menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa

muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang

Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung

jawabkan kepada-Nya: Di hadapan pengadilan Dzat

Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan

ketidakadilan di sana.

Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu

indah.Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih.

Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran menampakkan

keriangan yang sangat menawan. Semilir angin mengalirkan

kesejukan. Suara desaunya benar-benar terasa seumpama desau

suara zikir alam yang menciptakan suasana tenteram.

Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel

Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria

sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia.

Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan

kedamaian saja.

Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana

menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja itu

begitu memesona. Bukan semata-mata sihir matahari senja

yang membuat Alexandria begitu menakjubkan. Bukan semata-

mata pasir putihnya yang bersih yang membuat Alexandria

begitu menawan. Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat

segala yang dipandangnya tampak menakjubkan adalah karena

musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan

sedang bersinar terang di sana. Bunga bunga kesturi

sedang menebar wanginya. Tembang tembang cinta mengalun

di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya.

Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah seorang

gadis pualam, yang di matanya memiliki kecantikan bunga

mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di mata -

nya seumpama permata safir yang paling indah.

Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok

yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa dan

masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dikagumi

banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan

fisiknya, tapi juga karena kecerdasan dan prestasi-prestasi

yang telah diraihnya. Lebih dari itu, gadis itu adalah putri

orang nomor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir.

Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu -satunya Bapak

Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu

tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani

kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri Pyramid itu

untuk melanjutkan S.2-nya di American University in Cairo

(AUC).

Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang

memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya.

Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian. Sebab baru satu

bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah

dimuat di koran Ahram Gazzette. Opininya menyoroti peran

Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat

anggota-anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berhadapan

dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya

bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tulisannya rapi

runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan

pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan

perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplomat

ulung.

Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang

tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen

Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir

menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada

anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sembarang

orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang

yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan

mahasiswa Indonesia.

Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS

Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir.

Sekali di NileTV. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang tak

kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal

Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain karena ia

memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih

berbahasa Inggris dan Prancis.

Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada

di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama satu

pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke Alexandria,

namun keberadaannya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu

istimewa. Ia tidak bisa mengingkari dirinya adalah manusia

biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa menafikan dirinya adalah

pemuda biasa yang bisa berbunga-bunga karena merasa dekat

dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat

seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari kebahagiaan

sedang bersinar terang di hatinya.

Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia

(KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata dan

Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara pagelaran

budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama

satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan dan makanan

khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan

yaitu Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan

Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung

jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara

ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak.

Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi Timlo

Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus

meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama semingu. Ia

khawatir langganannya kecewa. Namun Putri Dubes itu terus

mendesak dan memohon kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan

bersedia.

Sejak itulah hatinya berbunga-bunga. Sebab sebelum berangkat

ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan saat di

Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke standnya untuk

mengontrol, melihat-lihat, atau hanya sekadar untuk menga -

jaknya bicara apa saja.

"Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas

Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa.

Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu menghormatinya.

Ia dipanggil dengan panggilan "Mas Insinyur", bukan

langsung memanggil namanya, atau dengan kata ganti

"kamu" atau "Anda". Orang-orang memang biasa memanggilnya

"Mas Khairul", karena namanya Khairul Azzam, atau

"Mas Insinyur" karena ia memang dikenal sebagai "Insinyur"-

nya dunia masak memasak di kalangan mahasiswa Indonesia

di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia

merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain.

Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke

arah pantai. Dua orang muda-mudi Mesir berjalan mesra

menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel.

Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba-tiba berkelebat

pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana.

Alangkah indahnya.

Astaghfirullal! la beristighfar.

Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu

sudah tidak dianggap benar.

Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut

Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang

tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang

menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan

Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal sebagai

kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediterania. Pelabuhan

utama Alexandria saat ini ada di kanan dan kiri kawasan

Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu

terletak di semenanjung Alexandria lama. Di ujung semenanjung

itu berdiri dua benteng bersejarah Yaitu Benteng

Qaitbai dan Benteng El Atta.

Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai

itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga kapal

yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan pandangannya

ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu luas

dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin

ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manusia.

Dan alangkah Maha Penya-yangnya Tuhan yang menjinakkan

lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal

kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manusia

yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia

yang sangat durhaka kepada Tuhan. Toh begitu, Tuhan masih

saja menunjukkan kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang

jika Ia berkehendak,Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelamkan

kapal itu dan bahkan meluluh-lantakkan seluruh isi

Kota Alexandria. Ia teringat firman-Nya yang indah,

"Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal

itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya

kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesungguhnya

pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran-

Nya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur."

Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah

menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar

yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar kare-

na memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu.

Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara

Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah

satu pantai laut Mediterania itu.

"Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya

sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di

pantai laut ini?" Ia berkata begitu karena nanti malam ada

jadwal makan malam bersama seluruh staf KBRI di Pantai El

Mumtazah. la yakin akan bertemu lagi dengara Eliana disana.

Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya

yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan.

Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi

pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Terasa damai dan

indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu Azzam

bertasbih, "Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah mencip

takan alam seindah ini."

Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih

dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya.

Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam bertasbih,

menjelaskan keagungan Sang Penciptanya. Bertasbih, menyucikan

Tuhan dari sifat kurang. Keindahan senja sore itu menjelaskan

kepada siapa saja yang menyaksikannya bahwa

Tuhan yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah

Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmu-Nya.

Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara.

laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di

alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah Semua

telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan tasbihnya.

Dengan sinarnya, matahari bertasbih di peredarannya. Dengan

hembusannya udara bertasbih di alirannya. Dengan

gelombangnya ombak berta sbih di jalannya. Semua telah tahu

bagaimana cara menunjukan tidak ada Tuhan selain Allah

Yang Maha Kuasa.

Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tanpa

tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang,

gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa

air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses

penciptaan manusia sembilan bulan di rahim, binatang-binatang

yang menjaga ekosistem dan keteraturar-keteraturan

lainnya, itu semua menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha

Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak

ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu

adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu

hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua, tiga dan seterusnya.

Tak mungkin.

Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi kerusakan

di alam semesta ini. Sebab masing-masing akan merasa

paling berkuasa. Masing-masing akan memaksakan keinginan-

Nya. Mereka akan berkelahi. Misalnya satu menghendaki matahari

terbit dari timur, sementara yang satu menghendaki

matahari terbit dari barat. Terjadilah perseteruan. Dan rusaklah

alam.

Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di

barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlambat

terbit. Matahari juga tak pernah bermain main, belari-lari

ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau

petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan

untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada

waktunya. Keteraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan

alam semesta ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla,

Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tak

terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin berjumlah

lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih dari satu, lalu

mereka sepakat menciptakan matahari, misalnya. Maka ada

dua kemungkinan di sana. Pertama, Tuhan yang satu menciptakan,

sementara Tuhan yang lain berpangku tangan. Tidak

berbuat apa-apa. Dengan begitu, bisa berarti bahwa Tuhan

yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa.

Sia-sia saja ia jadi Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan

ia tidak berperan menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti

makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan

tidak bisa disebutTuhan.

Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama

menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan keroyok -

an. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah Tuhan Yang

Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk

menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. Tidak

bisa menciptakan sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang

terbatas kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut

sebagai Tuhan.

Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian

tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang bertu -

gas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan

seterusnya. Jika demikian, mereka bukan Tuhan Yang Maha

Kuasa. Sebab pembagian tugas itu menunjukkan kelemahan,

menunjukkan ketidak-mahakuasaan. Tuhan yang sesungguhnya

adalah Tuhan Yang menciptakan dan menguasai seru

sekalian alam. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan

kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya

meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha sempurna

seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt. Dialah

Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang memproklamirkan

diri sebagai pencipta alam semesta ini kecuali hanya

Allah Swt.

"Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada

tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci

Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan

Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke

arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar

lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan

bersepuh kemerahan yang terpancar dati bola matahari

menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat

sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan."

"Subhanallah!" Kembali ia bertasbih dalam hati.

Ia terus menikmati detik-detik pergantian siang dan

malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke

dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah olah

masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam.

Lalu perlahan bulan datang. Subhanallah. Siapakah yang

mengatur ini semua? Siapakah yang mampu memasukkan

siang ke dalam perut malam? Seketika azan berkumandang

menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allaahu

Akbar! Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.

Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang

mampu memasuk-kan siang ke dalam perut malam. Dan

memasukkan malam ke dalam perut siang.

"Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan

malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam dan

Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar

sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampulampu

jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan sihirnya

yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kelapkelip

lampu kota yang mendapat julukan "Sang Pengantin

Laut Mediterania" itu bagai tebaran intan berlian. Khairul

Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk

shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.

Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar,

telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia menatap

telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka

pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia benar-benar perlu,

nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya

shalat," lirihnya menuju lift.

Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa

datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari

datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan

yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan

yang datang lebih dulu. Apalagi undangan yang datang lebih

dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat.

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.

***

Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan

pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana tampak

riang.

"Hei ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke

mana-mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke kamar

Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di lobby saja!"

Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan menjawab. Gadis

berpostur tubuh indah itu berbalut kaos lengan panjang ketat

berwarna merah muda dan celana jeans putih ketat. Balutan

khas gadis-gadis aristokrat Eropa itu membuatnya tampak

langsing, padat, dan berisi. Parfumnya menebarkan aroma

bunga-bungaan segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang

putih dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona

yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda

yang menatapnya.

Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu

ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia merasakan

nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup lebih kencang,

dan ada sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja mengaliri

tubuhnya.

"Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini

penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby

hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau tidak mau

Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandria karena

kontrak kerja dengannya.

"Mbak Eliana sudah shalat?" tanya Azzam pelan. Ia mencoba

menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng. Ia memanggilnya

'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga

tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena rasa hormatnya

pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta Besar.

"Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas

penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku

janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena menggampangkan

shalat.

“Tu... tugas?"

“Ya."

"Untuk saya!?"

"Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?"

"Tugas dari siapa?"

"Ya dariku."

"Dari Mbak?"

"Iya."

Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah

normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan

mimik serius ia berkata,

"Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi

sore Mbak? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi Wisata

tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai. Dalam kesepakatan

yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga

Nasi Timlo Solo selama enam hari. Dari jam sepuluh pagi

sampai jam empat sore. Menunggu stand enam jam setiap

hari. Berarti tugas saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi

ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa menerimanya

Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya

sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada

saya!? Apa saya bawahan Mbak!? Maaf saya tidak bisa Mbak!"

Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai

penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia

sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga

diriya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk

dari penjajahan atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang

sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang

hanya mengham-ba kepada Allah Swt.

Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis

agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru buru

meralat ucapannya dan meminta maaf.

"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan

kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai. Tetapi ini

ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa

yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar kontrak.

Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat

yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu.

"Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai

El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar Khayyam

Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti

secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar

Indonesia untuk Turki yang datang tadi siang. Beliau teman

kuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyuguhkan

menu istimewa untuk-nya. Menu yang mengingatkan

akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan

lauk ikan bakar dan sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu

sering makan menu itu bareng beliau di Pantai Parangtritis.

Sebelum Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan

menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah

memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk menca ri ikan

yang segar. Ikan apa saja yang penting layak dibakar. Pak Ali

membeli enam kilo dan sekarang sudah ada di dalam kulkas di

kamamya. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta tolong

kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur,

tolong ya? Please, ya?" Kata Eliana dengan nada memelas.

Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menjawab

apa-apa.

"Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji

nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial. Please tolong aku. Ini

masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan

bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada

kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting.

Tolong aku, Mas, please. Aku tahu ini waktunya sangat mepet.

Tapi aku yakin Mas bisa. Ayolah please ya?"

Eliana meminta dengan nada memelas sambil menangkupkan

kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu

benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah

memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat

tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga

sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.

"Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum

membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang

sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab

Azzam tenang.

"Sekarang?"

"Ya, sekarang."

"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"

“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak

saya.”

“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jeannya.

Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.

"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu harinya

lima puluh dollar."

"Terima kasih." Azzam menerima uang itu sambil tersenyum.

"Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa

membantu saya?"

"Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bisnis.

Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan mengharapkan

apapun dari Mbak."

"Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spesial."

"Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang

paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan

bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa

dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah

tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam.

"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa

yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia

lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersemangat.

Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon

genggamnya.

"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di

mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat

Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon.

"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib

dulu kalau belum shalat?"

“Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"

"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak

belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali

saja yang belanja."

"Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya

tidak ikut. Tentang shalat yang Mas Khairul ributkan itu tenang

saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat

malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia

tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, waktunya

sempit!"

"Kalau begitu ayo."

Azzam bangkit.

Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di

depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil

BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam

duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bangku

belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar

membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali

langsung tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju

ke arah pusat perbelan-jaan di kawasan El Manshiya. Azzam

menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia.

Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu

mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa

malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan

utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang

Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu

akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri

yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya

sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun

memesona.

"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana mengagetkan

lamunannya.

"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam

kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil

semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini?"

Jawab Azzam sedikit gugup.

"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin

jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda

Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya

rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya

bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu,

BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada

yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa

bermimpi? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia,

terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan

bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."

Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komentar

yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indo-

nesia. Tapi dulu saat ia masih di Madrasah Aliyah dan menga -

dakan camping dakwah di ujung tenggara Wonogiri, ia bertemu

dengan jenis anak anak remaja dan anak muda yang masih

sangat terbelakang cara berpikirnya. Mereka merasa cukup

dengan hanya lulus SD saja. Bahkan banyak yang tidak lulus

SD. Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau

menggembalakan kambing di hutan. Mimpi mereka adalah

bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau kambing

mereka cepat beranak pinak. Itulah mimpi anak-anak muda

yang ada dipedalaman daratan pulau Jawa. Ia bayangkan

bagaimana dengan yang berada di tengah hutan Kalimantan

dan Papua? Mereka yang berpikiran memakai baju yang layak

saja belum. Yang untuk menjamah mereka saja harus menem -

puh perjalanan yang sangat sulit. Ia langsung membandingkan

mereka dengan anak muda seperti Eliana yang sudah

selesai kuliah di Prancis di usia yang masih belia. Sudah

pernah merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropa.

Sudah pernah debat dengan Sekjen Liga Arab dengan bahasa

Inggris yang fasih. Alangkah jauh bedanya.

"Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang

tidak banyak dari mereka yang memiliki impian tinggi."

Komentarnya ringan. Dalam hati Azzam menambah, "Apalagi

yang bermimpi bisa menyunting Putri Dubes yang sekuler

seperti dirimu dan bisa menjadikannya Muslimah yang baik

pastilah sangat sangat sedikit jumlahnya."

"Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian

tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju.

Kalau yang kau impikan selama ini apa Mas? Bukan yang tadi

lho. Yang selama ini kau impikan." Tanya Eliana.

"Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak?" Sahut Azzam.

"Mm... mungkin mendirikan pesantren."

“Salah.”

“Terus apa?" Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he

he..."

"Wow...gila! It's great dream, man! Tak kuduga Mas

Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku sendiri pun

tidak menjangkaunya. Gila! Boleh... Boleh! Kali ini aku boleh

salut pada Mas Khairul."

BMW itu terus melaju dengan tenang dan elegan. Beberapa

menit kemudian mobil itu berhenti di depan kedai penjual

bumbu-bumbu di El Hurriya Street. Dengan cepat dan cermat

Azzam membeli bumbu. Azzam tidak lupa mengajak ke kedai

penjual sayur-mayur.

"Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada lalapannya."

Kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk ke kedai penjual

sayur mayur dan membeli ketimun, kubis, dan tomat untuk

dibuat lalapan. Setelah itu mereka meluncur kembali ke hotel

dengan perasaan lega. Dan yang paling lega tentu saja Eliana.

Jika bahan baku telah didapat, bumbu telah didapat, dan koki

yang akan menggarap bisa diandalkan, apakah tidak layak

baginya untuk merasa lega.

Dalam perialanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri

El Hurriya Street. Terus ke arah timur laut. Mereka me-lewati

Konsulat Amerika Serikat. Terus melaju tenang. Sampai di

kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club belok kiri. Lalu

belok kanan melaju di El Amir Ibrahim Street. Dari dalam

mobil, Azzam melihat trem listrik yang penuh penumpang.

Kereta itu melaju ke arah El Manshiya. Gadis-gadis Mesir

tampak berdiri di dalam trem. Tangan kanan mereka menggenggam

erat pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri

mereka memegang buku.

“Sepertinya gadis-gadis itu baru pulang dari kampus ya."

Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa yang

diperhatikan Azzam.

"Iya." Pelan Azzam.

“Gadis Mesir itu cantik-cantik ya. Langsing langsing."

"Iya."

"Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu-ibu kok gemuk

gemuk sekali ya?"

“Iya. Setahu saya memang adat di Mesir itu seorang

suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap tidak

bisa memberi makan dan tidak bisa mensejah-terakan isterinya."

"Aneh. Apa sejahtera itu berarti harus gemuk?"

"Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stres

malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir modern agaknya sudah

mulai meninggalkan adat itu. Kita juga mudah menemui ibuibu

Mesir yang tetap langsing."

“Ngomong-ngomong apa Mas Insinyur punya impian

menikah dengan gadis Mesir?"

"Menikah dengan gadis Mesir?" Spontan Azzam mengulang

pertanyaan Eliana.

"Iya. Pernah terbersit dalam hati?”

"Pernah."

"Punya kenalan gadis Mesir?"

“Punya."

“Cantik?”

“Pasti.”

"Wow. Tak kusangka. Mas Insinyur ternyata benar-benar

pemuda berselera tinggi. Eh Mas, jujur ya, kalau gadis

seperti diriku ini menurut Mas cantik tidak?"

Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu. Seandainya

ada cahaya yang terang pasti perubahan wajahnya akan

tampak. Namun keadaan malam itu menutupi perubahan wajahnya.

Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat perta -

nyaan seperti itu. Tiba tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia

tidak mau mengakui begitu saja kecantikan Putri Duta Besar

itu. Ia tidak mau menyanjungnya sebagaimana orang-orang

banyak me-nyanjungnya.

"Kok diam Mas? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini

menurut Mas cantik tidak?" Eliana kembali mengulang perta -

nyaannya.

"Bilang aja cantik! Gitu aja kok mikir!" Sahut Pak, Ali

sambil terus berkonsentrasi menjalankan mobil ke arah El

Ghaish Street. Sebentar lagi mereka sampai.

“Jangan dipengaruhi Pak. Biar dia jujur menilainya. Cantik

tidak?" Tanya Eliana ketiga kalinya.

“Tidak! " Jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu

memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas laut.

Purnama itu seolah tersenyum dan bertasbih bersama bintang-

bintang dan angin malam. Azzam tak mau tahu apa perasaan

Eliana saat itu, yang penting ia merasa menang.

"Ah. Kau tidak jujur itu Mas! Ayo jujur sajalah!" Protes

Pak Ali dengan suara agak keras.

Azzam hanya tersenyum. Dan diam. Cukup dengan diam

ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum menemukan

kata-kata yang tepat untuk bicara. Maka ia memilih diam. Sesaat

lamanya Azzam dan Eliana saling diam. Mobil terus bergerak

ke depan. Tak terasa mereka sudah sampai di halaman

Hotel El Haram.

***

Menarik bukan? harga novel ini Rp 63.000,- Kalau kamu beli di Social Agency Jl. Laksda Adisucipto dapat diskon 20% plus di dalam bukunya ada pembatasnya.

By Muhammad Ikhwan Anas

23/8E

Email: anaz_filatelis@yahoo.com