KEDELE |
Karya Keren Delapan E |
Terimakasih Telah mengunjungi website kami |
Redaksi |
Pelindung : Drs. H Tri Rahardjo, M.Pd Pembimbing : Ibu Darini Peng-edit : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Peng-update : M. Ikhwan Anas Saifuddin Aziz Hasil Foto : Saifuddin Aziz Tata Letak : M. Ikhwan Anas Karya-karya : Siswa-Siswi kelas 8E SMP N 1 Kalasan |
Tokoh Kita
Sultan Agung
Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (lahir: Mataram, 1593 - wafat: Mataram, 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Silsilah Keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyokrowati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banowati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat. Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri dari Batang keturunan Ki Juru Martani, yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung, atau disingkat Sunan Agung.
Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab untuk mengimbangi saingannya, yaitu sultan Banten. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu Sultan Agung.
Awal Pemerintahan
Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kotagede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahurekso (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca Penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu untuk dihancurkan terlebih dahulu.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga perang pun menjadi pilihan berikutnya.
Maka, pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahurekso bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Bahurekso dan Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Maka, serangan kedua Sultan Agung pun mengalami kegagalan lagi. Meskipun demikian, pihak Mataram sempat membendung dan mengotori Sungai Ciliwung mengakibatkan timbul wabah penyakitkolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen tewas menjadi korban wabah tersebut.
Pasca Kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah meskipun dua kali menderita kekalahan. Ia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632. Sedangkan Ukur dapat ditumpas oleh Patih Singaranu tahun 1635.
Disusul kemudian pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena orang Mataram tidak ada yang berani menghadapi keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Akhir Kekuasaan
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Silarong untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Banten dan Batavia. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Kematian Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Karya (Puisi)
Karya (Art Gallery 8E)

Pengetahuan
Filateli, Hobi Sekaligus Investasi
Menyalurkan hobi sekaligus berinvestasi tentunya dua pilihan yang sangat menarik. Komunitas Persatuan Filatelis Indonesia bisa menjadi wadah untuk mendapatkan keduanya. Hal ini tak lepas dari prangko yang ternyata memiliki nilai ekonomis hingga harganya bisa mencapai miliaran rupiah.
Bergabung dalam komunitas filatelis (orang yang mengumpulkan prangko dan benda-benda pos lain) ternyata bukan sekadar mengumpulkan macam-macam prangko dari berbagai negara. Namun, juga bisa sekalian investasi sekaligus berbisnis. Kok bisa? Memang, karena prangko akan memiliki nilai ekonomis bila hanya dicetak dalam jumlah terbatas oleh setiap negara.
Sekretaris Jenderal Persatuan Filatelis Indonesia (PFI) Rijanto mengatakan, memang ada aturan yang menyatakan prangko tidak boleh dicetak ulang oleh suatu negara. "Ini yang menyebabkan prangko memiliki nilai ekonomis. Hal tersebut yang harus diketahui oleh seorang filatelis sehingga bisa mendapatkan manfaat dari koleksinya," katanya.
Dia mencontohkan bagaimana prangko pertama yang diterbitkan di Indonesia pada 1 April 1864 dihargai hingga miliar-ran rupiah karena barangnya pasti sangat langka. Bahkan, harga tersebut jauh lebih tinggi dari prangko pertama di dunia yang dikeluarkan di Inggris pada 6 Mei 1840.
"Orang yang tidak tahu mengenai prangko tentu akan memberikan nilai harga yang lebih mahal kepada koleksi yang tertua, apalagi prangko pertama yang dikenal dengan sebutan penny black sangat terkenal di kalangan filatelis," kata Rijanto. Padahal, lanjutnya, prangko pertama di Indonesia kenyataannya justru jauh lebih mahal karena jumlah yang diterbitkan sangat sedikit dan jarang ditemukan pada saat ini.
Pengurus FPI, Luthfi, menjelaskan bahwa dirinya memilih menjadi filatelis bukan hanya hobi semata, melainkan juga dilatarbelakangi oleh unsur investasi. "Saya lihat prangko bisa jadi investasi jangka panjang dengan modal relatif kecil, tetapi harganya bisa beratus-ratus kali lipat di kemudian hari jika prangko yang kita miliki jumlahnya sangat terbatas," ujar Luthfi yang kini hanya terfokus pada prangko semata.
Akan tetapi, Rijanto memastikan bahwa anggota komunitas filatelis yang jumlahnya mencapai 150.000 orang tak hanya mengerti masalah keekonomian dari koleksinya, tetapi juga memanfaatkan pengetahuannya mengenai nilai prangko untuk menghargai koleksi pribadi.
Rijanto menegaskan, hal terpenting bagi anggota komunitas filateli adalah menambah pengetahuan umum yang berkaitan dengan koleksi prangko. Misalnya prangko bertema singa laut, maka seorang filatelis harus mengetahui seluk-beluk mengenai binatang tersebut untuk dapat menjelaskan koleksinya secara detail.
Seorang filatelis juga harus mengetahui banyak hal tentang negara yang menerbitkan prangko tersebut, bahkan latar belakang dari penerbitannya, karena semua prangko memiliki sejumlah alasan ketika akan diterbitkan oleh kantor pos di negara tertentu.
"Mungkin banyak orang yang pernah mendengar nama negara Malta, tetapi tidak banyak mengetahui informasi tentang negara itu. Namun, bagi seorang filatelis yang memiliki koleksi prangko dari negara tersebut, dipastikan mengenal betul negara tersebut," ujar Rijanto.
Perkumpulan Filatelis Indonesia
Selain mengasyikkan, hobi filateli juga bermanfaat dan berdampak positif. Hobi ini bisa memperluas pengetahuan umum sang pengumpul. Seorang filatelis secara tak langsung akan belajar ilmu bumi, sejarah, biologi, dan pengetahuan dari konten prangko.
Semakin banyak informasi mengenai koleksi prangko yang dimiliki oleh seorang filatelis, ia semakin dapat menikmati koleksinya. Hal ini merupakan dampak psikologis dari sebuah koleksi prangko yang dapat membuat orang menikmati barang tersebut.
Makanya, komunitas ini secara rutin melakukan pertemuan dua kali sebulan yang diisi acara tukar-menukar informasi mengenai koleksi prangko dan pelaksanaan lelang prangko. Selain itu, ada pameran, seminar, pelatihan dan pertemuan tingkat daerah, nasional, hingga internasional.
Diawali prangko
Penerbitan prangko pertama di Inggris yang kemudian diikuti oleh semua negara di dunia ternyata menimbulkan kegemaran atau hobi baru untuk mengumpulkan prangko. Selanjutnya, terbentuklah perkumpulan kolektor prangko atau filateli di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memiliki sekretariat di Jalan Pos, Nomor 2, Jakarta Pusat.
Prangko pertama di Indonesia tercatat terbit pada 1 April 1864 ketika Indonesia masih berada di bawah jajahan pemerintah Hindia Belanda. Makanya, komunitas filatelis di Indonesia mulai tumbuh pada zaman penjajahan, yakni tanggal 29 Maret 1922.
Pada waktu itu sekelompok kolektor prangko mendirikan klub filateli di Jakarta (Batavia, saat itu) yang mereka namakan Postzegelverzamelaars Club Batavia. Perkumpulan ini mendapat pengakuan dari penguasa setempat pada tanggal 29 Maret 1922.
Setelah itu, beberapa kelompok filatelis terbentuk pada beberapa daerah di Indonesia. Kelompok lokal itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah menjadi gerakan terorganisasi secara nasional, Nederlandsch Indische Vereniging van Postzegel Verzamelaars, pada tanggal 15 Agustus 1940 sebagai lanjutan dari Postzegelverzamelaar Club Batavia.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, nama perkumpulan diubah menjadi Algemene Vereniging Voor Philatelisten In Indonesia, yang merupakan pendahulu Perkumpulan Umum Philateli Indonesia yang dibentuk tahun 1953. Selanjutnya pada tahun 1965 menjadi Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) dan akhirnya pada tahun 1985 menjadi Perkumpulan Filatelis Indonesia.
Untuk dapat mengikuti perkembangan filateli di dunia internasional, pada tahun 1969 Indonesia menjadi anggota Federation International de Philatelie (FIP) yang berkedudukan di Swiss. Pada tahun 1974 Indonesia dan beberapa anggota FIP lainnya di wilayah Asia mendirikan sebuah federasi filateli regional yang berkedudukan di Singapura dengan nama Federation of Inter-Asian Philately (FIAP), yang anggotanya mencakup organisasi perkumpulan filateli di wilayah Asia-Pasifik.
Sejak lahirnya, PFI bukan merupakan organisasi politik, melainkan suatu organisasi hobi yang bersifat nasional, tidak mencari keuntungan dan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia. Filateli sebagai suatu kegiatan di luar sekolah mengandung aspek pendidikan yang berdampak positif bagi pembinaan dan pengembangan watak.
Lain-Lain
Gebrakan Baru Kesusastraan Indonesia
&
Secuil Kisah Buram Tentang Pendidikan di Negeri Kita

Halo....Hola...Loha!!! untuk kalian penggemar berat Novel, ada satu novel lagi yang harus dan kudu kalian baca!!! Mengapa??? alasannya nanti saja. Buat yang bukan novel-mania juga bisa coba baca kok... Ceritanya seru banget...
Garis besar ceritanya sih tetang pendidikan di Indonesia (seting tempat novel ini di Belitong) sebuah kisah berat perjalanan dua orang guru yang terus berusaha mengajar, meskipun keadaan sekolah yang beliau berdua ajar sangat memprihatinkan.
Novel ini terdapat 34 Bab, dijamin buat kalian yang membacanya akan sangat puas dengan ceritanya. Salut buat Kak Andrea Hirata.
So... Coba deh dengar komentar orang-orang yang sudah baca novel ini :
“Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang sedang mati suri.”
--Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah
“Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita
tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas
pendidikan.”
--Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI
“Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis sebuah novel yang akan
mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh
pendidikan.”
--Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI.
“Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh
manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang] dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang dan kekuasaan materi.”
--Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD Kutai Barat
“Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi
inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam
semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang menyentuh.”
--Garin Nugroho, sineas.
“Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air,
sekaligus memberi sebuah pernyataan keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi
pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi
orang Indonesia…. A must read!!!”
--Riri Riza, sutradara
“Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari tandingannya dalam khazanah
kontemporer penulis kita.”
--Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis
“Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas Andrea Hirata. Ceritanya
berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia
pendidikan. [Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah memberi hati
kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa
setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.”
--Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak
“Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan
budaya….”
--Majalah Tempo
“Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian. Berhasil memotret fakta
pendidikan dan ironi dunia korporasi di tengah komunitas kaum terpinggirkan.”
--Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra
“Secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan.”
--Majalah Femina
“Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak
kita memandang kemiskinan dengan cara lain.”
--Koran Tempo
“Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang mampu melahirkan semangat
serta kreativitas yang mencengangkan.”
--Harian Pikiran Rakyat
“Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinal.”
--Harian Tribun Jabar
“Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi kesusastraan Indonesia.”
--Harian Media Indonesia
“Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku ini.”
--Harian Belitung Pos
“Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan Andrea adalah daya tarik
utama Laskar pelangi.”
--Harian Bangka Pos
“Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.”
--Harian Galamedia
“Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena mampu menampilkan deskripsi
dengan detail yang kuat.”
--Tabloid Indago
“Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan Gabriel Garcia Marquez,
Nicolai Gogol, atau Alan Lightman…sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu
memberi kekuatan.”
--www.indosiar.com
“Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang guru.”
--Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil.
“Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi demikian
kental, bertabur metafora penuh pesona, hanya dalam waktu tiga pekan.”
--Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra
“Terlepas dari latar belakang sastranya yang banyak dipertanyakan, terlepas dari berbagai spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini memiliki semacam tenaga telepatik.”
--Ida Tejawiani, ibu rumah tangga
“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….”
--Fadly Arifin, dikutip dari milis pasarbuku
“Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali berjumpa dengan setiap anggota
Laskar Pelangi. Kekuatan karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu
untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar Pelangi adalah sebuah buku
yang sangat menggerakkan hati untuk berbuat lebih banyak.”
--Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku
Sekarang coba deh baca cuplikan Laskar Pelangi dibawah ini:
Bab 1
Sepuluh Murid Baru
PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.
Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu
miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya.
Titik-titikkeringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yangdikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagipermaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.
“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranakbanyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
“Kasihan ayahku ….” Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya. “Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….” Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar.
Setiap wajah orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.
Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali
seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari
pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
mengenal anak beranak itu. Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapasiapa.
Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela
semampu mereka.
Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru.
Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidk seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan. Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini—yang terperangkap di tengah—cemas kalaukalau kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini
Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh
orangtua yang telah pasrah. Suasana hening. Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.
Saat itu sudah pukkul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu
ini.
“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.
Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir.
Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.
“Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampirikami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.
Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.
“Bapak Guru …,” kata ibunya terengah-engah.
“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku ….” Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.
“Genap sepuluh orang …,” katanya.
Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.
***
Gimana? Seru? ingin tahu lanjutannya segera buru buku ini di toko buku terdekat!!!
[harga Rp 69.000,-] Kalo beli di Social Agency (Jl Laksda Adisucipto) dapat diskon 20% plus sampul gratis. Ada sisipan pembatas buku di dalamnya. Pokoknya KEREN!
E-mail: anaz_filatelis@yahoo.com